Jumat, 10 April 2015

Kualitas Guru (Menurut Pengamatan Saya Pribadi)



a.       Kondisi guru saat ini
Masalah yang terjadi di lapangan saat ini, berdasarkan pengamatan penulis, yaitu kondisi guru di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Di sebuah SD, penulis dapat mengetahui keadaan guru disana yang secara karakter belum mencerminkan seorang guru yang ideal. Dari segi karakter (kepribadian), seorang guru idealnya dapat menjadi contoh atau panutan, dari hal-hal kecil saja. Dari sebuah SD saja, dapat diketahui beberapa guru yang kepribadiannya belum ideal. Apabila kita berbicara tentang kualitas guru, tentu saja  bahasannya akan panjang karena menyangkut banyak dimensi. Namun saya hanya akan menekankan pada aspek kepribadian. Memang, di tengah gencar-gencarnya Kurikulum 2013 ini guru dituntut banyak hal, mampu menerapkan pendekatan saintifik, meningkatkan keilmuannya, melek IT, dan sebagainya. Dalam Fathurrohman dan Suryana (2012: 11), teknologi canggih seperti ICT merupakan keterampilan yang sudah harus melekat di dalam kehidupan guru, sehingga dalam melaksanakan tugas pembelajaran dapat membantu dan mendorong pola belajar yang menumbuhkan kreativitas dan sikap kritis para siswa. Menurut saya, hal-hal tersebut merupakan tuntutan-tuntutan kedua apabila tuntutan yang utama telah terpenuhi, yaitu: karakter. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang pegawai honorer sebuah SD, terungkaplah beberapa permasalahan yang penulis anggap krusial. Ada guru yang setiap hari datang terlambat, meskipun ada alasan, namun lebih mementingkan kepentingan pribadinya (ke kantor pos dulu, mengantar anak dulu, dan sebagainya). Lalu ada pula guru yang bersikap kurang pantas dengan salah seorang oknum pegawai dinas pendidikan di daerah yang bersangkutan, dalam artian bercanda kelewatan. Bahkan dua orang guru adu mulut di kantor hanya karena masalah sepele. Sungguh kekanak-kanakan. Jangankan berupaya meningkatkan kualitas, kehidupan mereka seakan-akan hanya berfokus mengurusi masalah pribadi saja. Sudah menjadi guru PNS, sertifikasi, mendapat gaji yang besar mungkin menurut mereka sudah cukup, tidak perlu mengejar apa-apa lagi, sehingga tidak ada usaha. Lalu semangat mengajarnya pun sudah tidak ada. Mereka lebih mementingkan bergosip membicarakan keburukan orang lain (bukan membahas hal-hal yang bermanfaat) sambil menyantap bakso dibandingkan kewajiban mengajar. Ketika masuk ke kelas pun hanya menyuruh anak mempelajari sendiri dengan cara membaca buku dalam hati dan memberi tugas dari LKS.
b.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi guru
-          Rendahnya tingkat pendidikan
-          Rendahnya motivasi
-          Faktor usia
-          Kurang profesionalnya proses perekrutan guru baru
-          Mudahnya untuk menjadi guru honorer
Menurut pendapat saya, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya kualitas guru saat ini adalah sistem perekrutan guru sendiri. Guru merupakan profesi profesional, namun kenyataannya, untuk menjadi guru merupakan hal yang mudah. Siapapun, lulusan apapun, bisa dengan mudahnya menjadi guru honorer terutama di SD pedalaman yang membutuhkan guru. Contoh, penulis pernah menyimak kisah guru Kelas 1 yang bisa menjadi guru SD berawal dari kesehariannya sebagai ibu rumah tangga yang selalu menunggu anaknya yang sedang sekolah lalu membutuhkan pekerjaan untuk mengisi waktu sambil menunggu anak. Alhasil sekolah yang sedang membutuhkan guru pun mengangkat ibu tersebut tanpa prosedur yang jelas. Cobalah bandingkan dengan profesi yang selalu banyak peminatnya dan dianggap memiliki prospek yang tinggi saat ini (kedokteran). Para remaja lulusan SMA berbondong-bondong ingin menjadi dokter dan belajar sungguh-sungguh dalam menghadapi SBMPTN. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya, karena profesi tersebut benar-benar dijaga secara profesional. Perekrutan seseorang untuk menjadidokter menggunakan prosedur yang jelas. Tidak ada seseorang yang berasal dari sembarang jurusan lantas mengabdi beberapa tahun sebagai honorer lalu diangkat menjadi dokter. Inilah lemahnya profesi guru. Banyak pegawai honorer yang berasal dari sembarang jurusan, lalu mengabdi selama beberapa tahun (biasanya minimal 5 tahun) dan diangkat menjadi guru PNS. Hal tersebut menyebabkan banyak guru yang mengajar di luar kemampuannya (tidak linier). Fathurrohman dan Suryana (2012: 5) mengatakan: “….40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya.”
c.       Pengaruh kualitas guru terhadap siswa
Seorang guru profesional sepatutnya memiliki empat kompetensi (pedagogic, sosial, kepribadian, dan profesional). Kemampuan guru dalam mengajar, termasuk pula memahami perkembangan siswa sehingga dapat menerapkan pembelajaran yang disesuaikan dengan perkembangan anak termasuk dalam kompetensi pedagogik. Seperti yang telah diuraikan di atas, banyak guru yang mengajar di luar kemampuan bidangnya (tidak linier). Dampak masalah ini terhadap prestasi belajar siswa tentunya adalah berdampak negatif. Apabila guru tidak linier, dapat diartikan bahwa apa yang guru ajarkan kurang dikuasai dengan baik oleh guru, walaupun misalnya dia belajar otodidak. Apabila sang guru saja kurang menguasai, bagaimana dengan siswa yang dia ajarkan? Begitupun pula dengan perkembangan siswa. Seseorang yang bukan berasal dari jurusan kependidikan bisa saja menjadi guru, apabila ini terus terjadi, dia kurang dibekali pemahaman mengenai perkembangan siswa. Dampaknya sangat berbahaya bagi siswa. Guru tidak akan memikirkan tentang perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang disesuaikan dengan perkembangan siswa. Ini berarti siswa kurang terfasilitasi untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya. Biasanya seorang yang berasal dari jurusan non pendidikan hanya memikirkan satu aspek perkembangan, yaitu kognitif saja. Mungkin secara kognitif, siswa akan berkembang, namun bagaimana dengan aspek-aspek perkembangan siswa yang lain?

DAFTAR RUJUKAN
Fathurrohman, P. & Suryana, A. (2012). Guru Profesional. Bandung: Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar