Jumat, 10 April 2015

Aku dan Mama Yang Selalu Berdebat


Debat disini bukan artian debat intelektual, melainkan debat hal-hal yang kurang penting. Contoh, Mama selalu mengomentari penampilanku. Mama ingin agar aku berkulit putih atau kuning langsat. Haah?! Hahaha. Ga penting banget kan. Terus karena aku juga orangnya agak egois, aku balas saja, menurutku warna kulit itu tidak penting, yang penting bersih. Dan mama pun mendebat lagi, terus sampai tidak ada habisnya.
Naah, Mama juga setelah aku beranjak dewasa, khususnya setelah menginjak usia 20 tahun, suka mengaitkan apa-apa dengan pria yang mapan. Misal, aku bilang nih sedang ikut kejuaraan, pasti mama langsung bilang, ada dosen bujangan yang ikut juga ga? Ini kan ga nyambung banget. Kejuaraan itu kan diikuti pelajar dan mahasiswa, yang biasanya seusia atau di bawah usiaku. Ada juga sih pelatihnya, tapi hampir tidak ada yang berprofesi sebagai dosen. Terus pertanyaanku, kenapa harus dosen? Akhirnya aku bilang kalau aku bertugas di meja penimbangan atlet yang akan bertanding. Naah di sebelah meja penimbangan itu, ada meja P3K. Mama langsung bilang, ada dokter yang ganteng ga? Bujangan ga? Ckckck…. Yaa begitulah. Mama akhir-akhir ini sering mengaitkan segalanya dengan pria yang mapan. Karena aku saat ini tinggal di lingkungan kampus, maka orang mapan yang dimaksud adalah semacam dosen. Syukur kalau dokter, begitu kata Mama.
Ada lagi contoh kasus lain. Beberapa waktu lalu aku bercerita kepada Mama tentang seseorang yang aku temui di sebuah instansi pemerintahan. Memang akhir-akhir ini aku beberapa kali harus pergi ke instansi tersebut untuk mengurus sesuatu. Aku bercerita kepada Mama tentang dia. Aku senang saja karena aku sering bertanya pada orang tersebut tentang urusan pentingku tersebut dan diapun orangnya welcome.Yang aku tahu, dia sedang magang di instansi tersebut, dia baru lulus dari sebuah sekolah kedinasan, dan seusia denganku. Nah anehnya, Mama tidak terlalu antusias, ini membuatku heran. Menurut Mama pada saat itu, magang disitu maksudnya dia belum lulus kuliah, masih terikat dengan kampusnya, masih terlalu muda, belum mapan, dan belum tentu PNS, jadi tidak usah dekat dengan orang yang belum jelas begitu kata Mama. Padahal setahuku pelajar sekolah kedinasan tersebut meskipun belum lulus kuliah sudah dijamin memiliki pekerjaan yang menjanjikan serta sudah dapat uang saku, dan pikirku itu tipe cowok mapan Mama banget kayanya. Suatu saat aku diantar pulang oleh orang tersebut dengan mobil pribadinya. Barulah setelah aku bercerita pada Mama bahwa orang tersebut memiliki mobil pribadi dan sedang tinggal di apartemen, Mama baru antusias menyuruhku menjaga hubungan dengan orang tersebut, ckckck….
Mama sering mengomeliku untuk menjaga penampilan, pakai make up, wangi, baju yang indah, dan sebagainya. Aneh-aneh saja menurutku. Buatku, hal-hal semacam itu tidak penting untuk dipikirkan. Yang penting saat ini adalah belajar dan belajar. Adapun hal penampilan itu mengikuti saja. Yang penting bersih, sopan, rapi. Dan hal pria yang mapan juga mengikuti juga. Aku tidak mau dandan menor dengan tujuan menarik perhatian para pria mapan. Iiih norak banget kan? Cewek apaan kayak gitu? Aku mau belajar karena Allah. Nanti juga jodoh dipertemukan oleh Allah.  Nanti juga (insya Allah) aku dipertemukan dengan orang yang nyambung, yang membuatku nyaman. Ga harus mapan, ga harus dosen, ga harus PNS, yang penting cerdas. Cerdas disini luas yaa. Tidak harus orang yang IPK-nya tinggi. Nah, ini juga menjadi perdebatan antara aku dan mama. Mama bilang harus yang mapan, aku balas tidak harus mapan yang penting cerdas, mama balas cerdas cari uang, kubalas lagi cari uang salah satu aspeknya saja. Yang paling penting adalah cerdas memaknai kehidupan, betul tidak? :)
Mama, Aku, dan Nazar. Beda kaan? Hahaha.

Filsafat, Ilmu dan Agama


a.      Perbandingan Filsafat, Ilmu, dan Agama
Persamaan
-         Baik filsafat, ilmu, maupun agama merupakan jenis-jenis pengetahuan.
-         Baik filsafat, ilmu, maupun agama bertujuan untuk memperoleh kebenaran.
-         Baik filsafat, ilmu, maupun agama bersifat normatif atau preskriptif atau menunjukkan tentang apa yang dicita-citakan atau apa yang seharusnya.
-         Baik filsafat, ilmu, maupun agama hasilnya dapat disajikan secara tematik sistematis dalam bentuk naratif (uraian lisan/tertulis) atau profetik (dialog/tanya jawab lisan/tertulis).
Perbedaan
Apabila dituangkan dalam bentuk tabel, perbedaan antara filsafat, ilmu, dan agama adalah sebagai berikut:
Aspek
Filsafat
Ilmu
Agama
Sumber
Pemikiran kritis manusia
Pemikiran kritis manusia dan pengamatan empiris
Wahyu
Objek Kajian
Segala sesuatu (metafisika, epistelomologi, aksiologi)
Objek tertentu (baik material maupun formal)
Sistem credo (tata keimanan)
Proses Studi
-      Dimulai dengan ketakjuban, ketidakpuasan, keraguan
-      Sinoptik (merangkum keseluruhan)
-      Dimulai dengan rasa ingin tahu
-      Analitik (menguraikan bagian tertentu)

-   Dimulai dengan keimanan
-   Sinoptik (merangkum keseluruhan)
Metode
Metode rasional
Metode rasional
Percaya
Kriteria
Rasional
Rasional-empiris
Rasa, iman, logis, kadang empiris
Sifat kebenaran
Subjektif paralelistik (benar menurut penganutnya masing-masing)
Objektif (benar berdasarkan objek kajiannya)
Imperatif (mewajibkan) dan mutlak

b. Peranan Filsafat, Ilmu, dan Agama dalam Pendidikan
1)      Filsafat berperan sebagai mother of science (induk ilmu pengetahuan). Filsafat juga berperan sebagai peneratas ilmu (Suriasumantri, 2009: 22). Dalam memecahkan masalah pendidikan, filsafat dapat berperan sebagai proses berpikir kritis untuk memecahkan masalah tersebut. Berbagai aliran yang terdapat dalam filsafat juga dapat dijadikan titik tolak untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Syaripudin dan Kurniasih (2008: 32), beberapa manfaat filsafat bagi kehidupan praktis diantaranya: filsafat memberikan konsep-konsep dasar dan menunjukkan arah tujuan, filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan praktis, filsafat mengembangkan sikap kritis dan kemandirian intelektual, dan filsafat mengembangkan sikap toleransi. Berdasarkan beberapa manfaat tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan landasan bagi praktik pendidikan dan dapat membantu memecahkan masalah pendidikan yang ada dalam kehidupan praktis.
2)      Ilmu secara umum memiliki tiga fungsi, yaitu menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol. Apabila terjadi masalah-masalah dalam pendidikan, ilmu dapat menjelaskan sebab  masalah tersebut dan akhirnya dicari solusinya. Bersumber dari masalah tersebut pun, ilmu dapat memprediksi apa yang akan terjadi. Selanjutnya ilmu dapat mengontrol agar masalah tersebut tidak lagi terjadi. Di dalam ilmu pun terdapat prosedur metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian untuk memecahkan masalah. Suriasumantri (Robandi dkk., 2014: 53) menjelaskan langkah-langkah ilmiah sebagai berikut: perumusan ilmiah, penyusunan kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.Selain itu, praktik pendidikan yang melibatkan berbagai komponen perlu dilandasi oleh beberapa disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu dapat menjadi salah satu landasan pendidikan ditinjau dari beberapa disiplin ilmu serta dapat memberikan manfaat berupa solusi dalam mengatasi masalah pendidikan.
3)      Agama berisi mengenai keseluruhan pedoman untuk menjalani kehidupan baik di dunia maupun akhirat. Begitupun pula dengan pendidikan yang merupakan salah satu aspek dari kehidupan. Apabila terjadi masalah dalam pendidikan, agama pun menyediakan ketentuan-ketentuan apa yang seharusnya dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu, agama berisi mengenai ajaran-ajaran moral dan kebaikan, sedangkan pendidikan sendiri bersifat normatif atau dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agama dapat menjadi landasan bagi pendidikan dalam hal menyediakan nilai-nilai moral dan kebaikan. Agama pun dapat menjadi benteng yang memproteksi pelaksanaan pendidikan dari hal-hal yang bertentangan dengan norma.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa baik filsafat, ilmu, maupun agama memiliki kesamaan peran dalam pendidikan yaitu sebagai landasan pendidikan dan dapat memecahkan masalah pendidikan. Salah satu contoh masalah pendidikan yang sedang menjadi hot issue saat ini adalah penyalahgunaan narkoba oleh salah seorang guru besar di sebuah universitas negeri. Filsafat, ilmu, dan agama dapat membantu memecahkan permasalahan tersebut. Dengan filsafat, kita mengkaji secara mendalam dan kritis faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba oleh professor tersebut. Dengan ilmu, kita menggunakan prosedur ilmiah untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut. Dengan agama, kita mengkaji kasus tersebut melalui ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama beserta solusinya. 


DAFTAR PUSTAKA
Robandi, B. dkk. (2014). Landasan Pendidikan. Bandung: Jurusan Pedagogik FIP UPI.
Suriasumantri, J.S. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syaripudin, T. & Kurniasih. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.

Pentingnya Filsafat Ilmu bagi Akademisi



Guru atau akademisi merupakan seseorang yang bergelut di dunia pendidikan untuk terus mengembangkan ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut kepada peserta didik. Sedangkan filsafat ilmu merupakan kajian filsafat yang menelaah tentang ilmu pengetahuan. Penting bagi seseorang yang kesehariannya berkutat dengan ilmu untuk memahami hakikat ilmu yang ia geluti tersebut. Seseorang yang mengamalkan ilmu tentu saja harus paham beberapa pertanyaan mendasar mengenai ilmu yang ia amalkan, seperti apa objek yang dipelajari ilmu tersebut, bagaimana cara memperoleh ilmu tersebut, dan untuk apa ilmu tersebut. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dikuasai para guru atau akademisi sebagai dasar pengembangan dan pengaplikasian ilmu yang mereka geluti. Dengan memahami objek apa yang dikaji secara komprehensif, seorang guru atau akademisi memiliki pemahaman yang kuat tentang ilmu tersebut sehingga dapat mengamalkannya secara benar kepada publik secara umum dan peserta didik secara khusus. Dengan memahami bagaimana cara memperoleh ilmu, seorang guru atau akademisi dapat mengembangkan ilmu dengan cara melakukan kajian ataupun penelitian yang relevan dengan ilmu tersebut. Dengan memahami untuk apa ilmu tersebut, seorang guru atau akademisi terhindar dari penyalahgunaan ilmu serta memanfaatkan ilmu tersebut secara normatif (sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku). Penjelasan tersebut berkorelasi dengan pandangan Salam (Susanto, 2011: 55) yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu diarahkan untuk: a) lebih memanusiakan diri atau lebih mendidik atau membangun diri sendiri, b) mempertahankan sikap yang objektif dan mendasarkan pendapat atas pengetahuan yang objektif tidak hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan simpati dan antipasti saja, c) agar berpikir secara holistis dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tidak mementingkan egoisme, dan d) dapat berpikir kritis, mandiri, dan tidak tergantung pada orang lain. Selain itu, filsafat ilmu pun dapat mengembangkan wawasan, melatih berpikir kritis, dan mengingkatkan profesionalisme guru atau akademisi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suseno (Susanto, 2011: 54) yang mengemukakan salah satu fungsi filsafat ilmu yaitu “….dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual pada umumnya dan khususnya di lingkungan akademis.” Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan memahami sungguh-sungguh mengenai filsafat ilmu, guru atau akademisi dapat mempertanggungjawabkan ilmu yang ia kembangkan.


DAFTAR PUSTAKA
Susanto, A. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.