Selasa, 05 Agustus 2014

Tokoh Mahabarata



Pada saat masih kecil, gue sudah disodorkan dengan buku-buku wayang. Hanya dua sih. Yang pertama jadul banget, judulnya “PANDAWA LILIMA”. Buku ini bercover biru dengan gambar para tokoh pandawa dalam bentuk wayang golek. Kalau tidak salah, bukunya sendiri berbahasa Sunda. Isinya tentang daftar tokoh Pandawa dan Kurawa dengan karakter masing-masing. Gue yang dahulu lebih suka gambar daripada kata, hanya mengamati gambar-gambarnya yang berbentuk wayang golek tersebut. Sementara kisah mengenai tokohnya masing-masing aku simak dari ayah dan bibi gue. Buku yang satu lagi berjudul “BUNGA DI PADANG KURUSETRA”. Buku ini adalah buku cerita tentang kisah Perang Baratayudha. Covernya berwarna merah dengan gambar Arjuna di samping jasad Karna yang telah tertusuk panah. Buku ini berbahasa Indonesia. Memang, hingga saat kini gue belum membaca buku itu secara utuh. Paling hanya melihat gambar-gambarnya saja. Ada gambar Gatotkaca kalau tidak salah di dalamnya. Makluum anak-anak suka malas baca, lebih tertarik pada gambar. Dulu pun gue belum ngeh, kalau Perang Baratayudha merupakah bagian dari kisah Mahabarata. Aku kira buku “BUNGA DI PADANG KURUSETRA” itu hanya dongeng biasa. “Itu Arjuna sama Adipati Karna tau,” kata Ayah ketika kebetulan gue tengah melihat-lihat buku itu. “Ooh… Kenapa yang jadi cover depannya mereka?” tanya Hana Kecil. Dari sanalah ayah menjelaskan bahwa Karna bukanlah tokoh yang biasa saja di Kisah Mahabarata. Malah bisa dibilang Karna itu tokoh utamanya. Gue kan dulu hanya mempelajari tokoh-tokoh Pandawa, jadi belum begitu mengenai tokoh Kurawa seperti Karna. Akhirnya gue paham bahwa Karna adalah anak yang terbuang, yang tidak diakui oleh Dewi Kunti maupun Pandawa dan akhirnya memihak pada Kurawa. Sampai akhirnya, tokoh wayang yang paling gue sukai adalah Adipati Karna. gue memang cenderung memihak pada tokoh-tokoh yang terbuang, huhu. Di kehidupan gue sendiri, gue suka mengait-ngaitkan tokoh Mahabarata dengan tokoh di dalam kehidupan gue. Gini nih jadinya:

Yudhistira/Puntadewa = Ayah
Perbandingan:
-          Sama-sama anak pertama.
-          Sama-sama baik, sabar, pemaaf, bijaksana.
-          Sama-sama pemimpin.
Udah cuma segitu doang? Yaelaaah….Cuma gitu aja dibilang sama, wkwkwk….

Dewi Kunti Nalibrata = Enin
Perbandingan:
-          Sama-sama ibu yang anak-anaknya sukses (aamiin….).
-          Sama-sama keibuan (ya iyalah namanya juga ibu-ibu).
-          Sama-sama janda yang ditinggal mati suaminya.
-          Sama-sama punya suami hebat.
-          Namanya mirip. Kalo di Mahabarata Kunti, kalo di kehidupan nyata Kanti. Hahaha.

Alm. Abah Husen sama Enin Kunti.
Gimana, udah kayak Pandu sama Dewi Kuntinalibrata belum? Hahaha

Kalau yang ini, Pandunya mirip Kabayan apa Benyamin yaa? Wkwkwk

Dewi Drupadi = Mama
Perbandingan:
-          Sama-sama cantik (yaiyalah namanya juga wanita).
-          Sama-sama anak pertama.
-          Sama-sama punya suami yang baeeek banget dan anak pertama juga.
Maksa banget yah, hahaha. Biarin ah, kapan lagi disamain sama tokoh terkenal, hahaha.
Drupadi dalam Serial Mahabarata

Drupadi dalam Serial Kehidupan Gue (a.k.a. Mama gue)

Udah mirip Yudhistira sama Drupadi belum?

Bima = Paman
Perbandingan:
-          Sama-sama anak kedua (tapi kalo paman, seharusnya anak ketiga, tapi jadi yang kedua karena yang keduanya meninggal saat masih bayi).
-          Sama-sama humoris.
-          Sama-sama tinggi besar.
-          Sama-sama kuat.
-          Namanya mirip. Kalo tokoh Mahabarata: Bima. Kalo paman: R. Ibrahim (ada B, A, I, M). hahaha.

Srikandi = Bibi
Perbandingan:
-          Sama-sama cerdas.
-          Sama-sama bernama Sri. Kalau di Mahabarata: Srikandi. Kalau bibi: Sri Budhiati -_-
-          Sama-sama wanita muda banget lah pokoknya.
Dikit banget perbandingannya -_-
Wayang Srikandi lengkap dengan anak panahnya

Gue = Dipati Karna
Perbandingan:
-          Sama-sama anak pertama
-          Sama-sama terbuang
-          Sama-sama dianaktirikan
-          Sama-sama jadi korban pilih kasih
-          Sama-sama cerdas, tapi tertindas
-          Sama-sama ngga enakan orangnya
-          Sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran
-          Sama-sama bernama akhiran ‘na’. Di Mahabarata: Karna. Gue: Hana. Kalau dipanggil sama-sama ‘na’ kan?
Hadooh yang ini galau banget yaa. Sebenarnya ga terbuang juga sih, tapi dulu pas kecil gue paling sering ngambek gara-gara itu, hahaha.
Yah itulah sekilas gue narsis dikit, mumpung sekarang ini serial Mahabarata versi India lagi booming-boomingnya. Apa? Sengkuni? Duryudhana? Gada deh tokoh jahat dalam keluarga gue, hehe. Oh iya , Arjuna lupa ya… Bingung, abis keluarga gue yang bapak-bapak ganteng semua, hahaha. Kalau Resi Bisma mungkin Kakek Buyut gue, walaupun kemiripannya cuma sama-sama lelaki jantan aja. Oke deh, mohon maaf atas segala kekhilafan. Wassalam.
Tambahan: Alm. Uyut Suparja a.k.a. Bisma
Mirip ototnya dikit kali yah?

Tips untuk (Tidak) Menjadi Pendengar Yang Baik



Dulu, pas gue masih awal-awal masuk kuliah, gue selalu jaim. Jaim disini artinya berupaya membuat image gue orang baek-baek. Kapanpun, dimanapun. Tapi seiring berjalannya waktu, gue sadar itu ga baik juga buat gue. Gue berupaya baik tapi kenyataannya palsu. Gue berusaha menghormati orang lain tapi kenyataannya menzhalimi diri gue sendiri. Contoh, gue selalu merasa bahwa gue gampang banget diajak ngobrol orang di tempat umum. Baik itu di bis, angkot, pusat berbelanjaan, dan lain-lain. Judulnya sih, diajak ngobrol, tapi kenyataannya gue jadi pendengar yang baik -_-. Intinya banyak orang yang curcol ama gue. Yang jadi pertanyaan juga adalah, kenapa harus gue?? Pernah ya, ada orang yang vokal banget  di sebuah angkot yang sedang ngetem. Gue agak risih juga sih sama orang kaya gitu. Ngeliat orang kaya gitu, yang berkomentar-komentar sendiri, dan sepertinya siap mencari korban diajak ngobrol, gue langsung berdoa semoga bukan gue korbannya. Gue kan posisinya berhadapan ama dia, mudah-mudahan yang jadi korbannya adalah orang di sampingnya. Dan yang jadi korbannya lagi-lagi…gueL Gue jadi heran, apa muka gue muka orang sabar (baca: ngenes) yang siap mendengarkan orang-orang curcol? Atau dia bisa baca pikiran gue. Jadi kira-kira di pikirannya kayak gini: “Nih anak paling ga suka diajak ngobrol orang. Korban empuk gue. Gue kerjain aja biar tau rasa dia, hahaha.”
Terus gue sering banget jadi korban curcol orang-orang di bis Damri Kuningan-Bandung. Gue pertamanya berpikir bahwa bis yang satu ini adalah bisnya orang-orang terpelajar dan baik-baik, jadi keramahan sangat dijaga, termasuk sama orang yang duduk di samping. Nah kalo udah jadi korban kaya gitu, gue cuma bisa tersenyum manis nan palsu sambil ber-“iya-iya” ria dan mengangguk-angguk sok perhatian. Topeng banget. Curcol disini biasanya cerita tentang anak-anaknya (biasanya ibu-ibu). Sebenernya gue seneng-seneng aja kalo orang-orang mau ceritain suka dukanya ama gue, terutama kalo dia temen, sahabat, atau keluarga gue. Berarti gue bisa dipercaya untuk jadi temen curhat yang baik. Masalahnya, 6 JAM MEEEN gue kudu jadi pendengar yang baik buat orang yang baru dikenal….! Gue kan paling harus duduk samping jendela dan menikmati pemandangan sambil melamunkan kehidupan gue sendiri. Nah kalo udah jadi korban curcol, gue yang menjunjung tinggi kesopanan mau gamau kudu membuyarkan lamunan gue tentang masa depan, melihat ke arah lawan bicara gue, mengambil posisi sebagai pendengar yang baik, pura-pura memperhatikan, dan menanggapi seperlunya. Gileee gue udah kaya jurnalis yang mewawancarai menteri aja. Mending kalo gue jadi Poirot yang lagi mendengarkan keterangan seorang saksi pembunuhan.
Semakin dewasa gue, semakin tumbuh ego gue. Gue jadi berpikir, buat apa sih gue sok ramah tapi malah nyiksa diri gue sendiri? Lagian wajar keleees kalo orang tuh ga semuanya baik. Baik itu bukan baik yang dipaksakan. Meskipun gue selalu yakin bahwa penumpang bis damri Kuningan-Bandung semuanya baik-baik (kenapa gue selalu mengungkit-ungkit Damri? Karena gue sering jadi korban di tempat ini -_-). Akhirnya, gue punya tips buat diri gue sendiri. Jadi ketika gue udah duduk manis pinggir jendela siap menikmati pemandangan, gue juga kudu siapkan buku. Ya, senjata ini wajib dibawa kemana-mana. Selain karena emang gue pecinta buku, ini juga bisa menjadi perisai ketika ada orang yang butuh teman ngobrol. Terus ketika bis berhenti, tandanya ada penumpang baru masuk, posisi kita menghadap jendela banget dan tidak sekali-kali melihat ke penumpang yang baru tersebut. Biar kita dianggap jutek. Ini berfungsi biar orang yang tadinya mau duduk samping kita, gajadi, dan cari kursi lain. Syukur-syukur kalo sampai tujuan, ga ada orang yang mau duduk samping kita, kan leluasa banget tuh kursi buat dua orang, yang nempatin cuma satu orang, hahahahaha. Tapi jangan berharap kayak gini kalau lagi musim libur lebaran atau libur semesteran mahasiswa. Coba kalau kita melayangkan pandangan pada orang yang baru masuk, apalagi dengan muka ramah seraya berkata “Selamat datang :) “. Jelas-jelas bakalan ada yang duduk samping kita, ngajak kenalan, dan siap-siap diajak curcol, week! :p . Nah kalau ada orang yang duduk samping kita, usahakan jangan melihat ke arahnya. Beraktinglah bahwa kita itu autis, asyik dengan diri sendiri. Sekarang ini, banyak orang berautis dengan memainkan gadget. Buat gue, cara nunjukin autis yaitu dengan melihat terus ke arah jendela, atau kalau agak macet, baca buku (soalnya kalo pas jalanan lancer, baca buku bikin pusing). Naahh, gimana kalo ternyata kita udah bersikap sejutek mungkin tapi ternyata tempat samping kita ditempatin aa kece? Aduuh, jangan ngarep kaya gitu deh…. Gue ga pernah ngalamin soalnyaa -_-
Pernah ada kejadian kaya gini. Suatu hari yang panas di Kota Cirebon menjelang Lebaran, gue sekeluarga maen ke sebuah mall. Biasa lah menjelang Lebaran gituu. Sebagai perbekalan utama gue, of course gue bawa novel Agatha Christie yang belum kelar gue baca. Tapi karena gue berpikir, di mall gada waktu dan tempat buat baca novel, gue tinggal tuh novel di mobil. Tapi gue salah ternyata. Kita tiba hampir pukul 12 siang. Mamake langsung ngajak bapake ke musala buat salat dulu biar jongjon ceunah. Alhasil, gue nunggu depan musala ama adek bungsu gue karena gue emang lagi ga salat waktu itu. Ada juga beberapa orang yang tengah duduk disana. Adek gue yang autis ama gadget, langsung nagih hape gue. Jadilah gue duduk plus jadi tempat nyender adek yang asyik maen game di hape. Aga nyesel ga bawa novel, tapi emang aga lemes juga gue, jadi gue putuskan buat melamun aja sambil liat orang-orang berlalu-lalang depan musala. Beberapa saat kemudian, duduklah seorang lelaki di samping gue. Gue yang emang udah mempersiapkan muka hanya ke tempat orang berlalu-lalang, takut diajak ngobrol orang di samping, ngerasa pas si mas-mas itu mau duduk, dia sempet ngangguk, maksudnya mungkin bilang semacam permisi gitu, tapi gue pura-pura ga liat. Gue yang sejak awal ngga mau nengok samping sedikit pun ngerasa bangga ama diri gue yang udah bersikap autis, tapi jiwa ngga-enakan gue muncul juga. Kasihan juga tuh orang, udah sopan-sopan ngangguk dulu, eh digondokin. Akhirnya dia mulai nyapa gue dengan bertanya letak musala, gue pun menjawab dengan lumayan ramah karena menyesal udah menggondokin mas-mas tersebut barusan. Tapi lagi-lagi, gue salah. Akhirnya dia nanya gue banyak, tentang profesi gue dan sebagainya. Mau gamau pun gue terpaksa interaktif. Gue bilang aja gue baru masuk kuliah, emang bener toh, gue baru masuk pascasarjana waktu itu -_-. Dia bilang dia baru lulus kuliah. Terus gue ditanya lewat jalur apa, gue bilang aja SBMPTN (padahal zaman gue dulu masih SNMPTN -_-). Terus gue bilang lulusan SMAN 2 Kuningan (seneng banget gue pas bilang jadi anak lulusan baru Smanda, padahal mah emang bener gue alumnus sono, tapi lulusan lama). Abis gitu, gue ditanya apa ga takut perempuan-perempuan jauh dari orang tua kaya gitu (padahal ngadepin penjahat juga pernah -_-). Terus mas-mas tersebut nyeramahin gue tentang tips-tips kuliah, misalnya penting buat buat mahasiswa semester akhir buat segera dapat pekerjaan, terus kalo bisa ngehonor di sekolah (padahal gue mah pengen banget keluar dari ngehonor -_-). Gue sih cuma ber”iya-iya” ria seperti layaknya pendengar yang baik aja. Akhirnya mah si mas-mas itu minta nope gue coba, dianggepnya mungkin gue anak abg yang polos banget, abis gue dikasih wejangan terus.
Ketika gue berpikir lagi tentang kejadian ini, gue sadar gue ga punya pilihan buat ngibul yang lain. Gue emang sering banget ngibul sama orang yang baru dikenal, yang paling sering adalah tentang status gue. Gue selalu bilang gue masih anak kuliahan semester 3 pas gue udah lulus. Gue pikir ini adalah solusi buat orang yang banyak nanya. Banyak kemungkinan pertanyaan kalo gue bilang gue udah lulus. Misalnya: Kenapa ga ngajar di SD kampung sendiri? Kenapa ga ngelamar kerja di bank? Kenapa belum nikah? Kenapa udah lulus cupu? Kenapa udah lulus masih ingusan? Dan kenapa-kenapa lainnya. Kan beres kalo gue bilang kalo gue mahasiswa, orang gakan nanya macem-macem, wajar anak kuliah ada di Bandung. Dan kini, setelah muncul pengumuman bahwa gue diterima di Pascasarjana UPI, gue selalu bilang kalo gue ini baru masuk kuliah. Orang-orang banyak yang nyangka gue emang baru banget lulus SMA. Tapi emang kalau pada akhirnya gue terpaksa jujur, misalnya karena kebetulan ada babeh dan gue disenggol beliau, gue akan menambahkan gue baru masuk kuliah S2, malah orang-orangnya banyak yang ga percaya. Maka akan banyak lagi pertanyaan semacam: Jangan bohong deh, baru masuk kuliah S1 kan? Kok masih nyusut umbel (baca: ingus) ke lengan baju udah S2? Ribet, ribet, ribet…. 
Nah buat kasus orang yang ngajak ngobrol lantas ujung-ujungnya minta nope, gue jadi berpikir solusi lain. Pas kasus yang di mall Cirebon itu, gue kan sama bapake dan mamake. Kenapa ya, gue ga bilang kalo gue udah nikah? Jadi gue bilang aja kalo gue itu istri kedua seseorang yang usianya jauh lebih tua. Dan si Nazar yang lagi nyender sambil maen game, gue bilang aja anak gue. Jadi pas bapake sama mamake muncul dari musala, gue bilang aja, “Itu suami saya dan itu istri pertamanya.” Nah kalo gitu kan gada yang berani minta nope. Jadi semenjak muncul ide itu, gue bertekad kalau ntar-ntar kebetulan gue lagi jalan ama keluarga, dan ada yang ngajak kenalan, gue bakal kayak gitu. Tapi, setelah dipikir-pikir, gue emang gada tampang buat jadi istri muda -_- gue emang lebi pantes jadi anak yang baru masuk kuliah -_-
Itulah sekilas cerita gue yang timbul akibat keseringan berpikir tentang segala kemungkinan yang bakal terjadi dalam kehidupan. Lebay banget semua sih kemungkinannya -_-
Makasih udah mau mampir bentar :)        

Selasa, 27 Mei 2014

Situ Malahayu dan Kisah Sapta Puspita



Situ Malahayu merupakan sebuah waduk yang terletak di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Letaknya tidak jauh dari Kecamata Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Aku pertama kali mendengar nama waduk ini dari nenekku. Beliau selalu menceritakan bahwa di dekat Cibingbin, karena dahulu beliau tinggal disana, ada sebuah waduk bernama Situ Malahayu. Nenek mengisahkan bahwa dulu pernah ada peristiwa tenggelamnya siswa SD saat sedang berekreasi disana. Nenek bercerita seolah-olah waduk tersebut memang waduk yang ”wah”. Bahkan nenekku mengatakan bahwa Situ Malahayu ini lebih luas dari Waduk Darma, waduk yang menurutku, dan juga mungkin menurut warga Kuningan lainnya, lebih familiar. Namun responku dulu biasa-biasa saja. Yang dapat kubayangkan hanyalah kolam luas di tengah hutan yang gelap karena dipenuhi pepohonan.
Beberapa bulan yang lalu saat sedang berada di kampong halaman, ayahku sempat bercerita bahwa dirinya dan beberapa teman sekantornya baru saja bersepeda ke Situ Malahayu. Beliau bercerita seolah-olah bersepeda dari Kota Kuningan ke Situ Malahayu adalah sesuatu yang “wah”. Biasaaa si Ayah yang satu ini suka membangga-banggakan dirinya kalau sudah membicarakan tentang bersepeda, huhu…. Berangkat dari Kuningan pagi dan sampai di Kuningan petang. Menurut beliau, bersepeda ke Situ Malahayu memang penuh perjuangan karena harus melewati daerah pegunungan dengan jalanan menanjak. Akhirnya, beliau pun megungkit kembali cerita yang dahulu sering diceritakan nenek. Jadi dahulu pernah ada acara rekreasi siswa-siswi SD. Kalau tidak salah, alm. Kakek pada saat itu adalah pengawas satuan pendidikan. Dan kalau tidak salah lagi, pamanku juga termasuk salah satu siswa SD itu. Saat sedang menaiki perahu, perahunya bocor. Kecelakaan pun tidak dapat dielakkan lagi. Tujuh siswi meninggal dalam tragedi tersebut. Di makam ketujuh putri tersebut, alm. Kakek membuat tulisan “SAPTA PUSPITA” yang berarti tujuh bunga.
Dan beberapa waktu yang lalu, tanpa sengaja, aku menonton sebuah acara misteri di sebuah stasiun televise swasta yang menayangkan liputan tentang Situ Malahayu. Dengan antusias, aku pun menyimaknya. Tidak lupa aku mengirim pesan kepada ayah agar menonton juga. Ternyata gambaran Situ Malahayu tidak jauh dari apa yang selama ini kubayangkan. Gelap….sepi….rindang…. Walaupun lebih luas dan asri dari Waduk Darma, namun waduk yang satu ini sangat sepi. Mungkin karena letaknya yang sulit dijangkau, baik dari Brebes maupun dari Kuningan. Ternyata banyak juga tragedi kecelakaan lain yang terdapat di tempat ini. Dan banyak juga mitos-mitos masyarakat setempat mengenai makhluk gaib penghuni Situ Malahayu. Katanya sih yaa, dulu situ ini dibangun pada Zaman Penjajahan Belanda. Tadinya waduk ini merupakan sebuah desa. Para pekerja yang membangun bendungan ini juga kebanyakan kaum wanita. Dalam pembangunannya, ada beberapa pekerja yang tewas. Mitos gaibnya, terdapat seekor ular siluman yang bersemayam di dalam situ. Dan katanya lagi, ular siluman inilah yang suka menarik perahu ke dalam air apabila terjadi kecelakaan. Wallahualam bissawab.

Selasa, 22 April 2014

Dike Merubah Pandanganku terhadap PGSD

Alhamdulillah…. Allah memberikanku kesempatan untuk mengenal lebih dekat sosok yang satu ini. Dike Meilia namanya. Beliau adalah mahasiswa PGSD UPI Angkatan 2009 Keminatan IPA. Meskipun kami berada dalam satu prodi selama 4 tahun, namun baru kali ini aku dapat belajar banyak hal dari beliau. Sebenarnya, asumsi pertamaku terhadap Dike hanya satu kata: Rohis. Yaa maksudnya beliau ini semacam anak-anak alim yang sering nongkrong di masjid dan aktif di organisasi keagamaan. Maklum, aku belum pernah satu kelas dengannya. Aku ingat pertama kali kami berkenalan di masa MOKA. Beliau dan sahabatnya, Lisna, mengajakku kenalan dengan ramah dan bersahabat. Kali ini kami dapat lebih dekat karena sama-sama bekerja di tempat yang sama.
Dike adalah seorang anak rantau yang berasal dari Majalengka. Berhubung aku agak mengenal sekolah-sekolah yang berada di sekitar Jawa Barat, maka ketika aku tahu bahwa Dike adalah lulusan SMAN 1 Majalengka, aku yakin bahwa dia anak yang cerdas. Hehehe, agak diskriminasi juga ya aku…. Aku hapal sekolah-sekolah favorit di beberapa daerah. Selain itu, Dike pun cuek, ga begitu memperhatikan penampilan, yang penting sopan dan rapi. Ngga menor gitu dandanannya… Dan begitu kutahu bahwa Dike juga senang membaca buku-buku macam Enid Blyton, Goosebumps, dan sebagainya, aku pun bertambah yakin bahwa dia anak ajaib! Hahaha lebay banget…. Soalnya selama beberapa tahun di Bandung, jarang-jarang aku menemukan anak semacam ini, padahal mungkin sebenarnya banyak yaa….
Kesanku terhadap PGSD adalah hal-hal semacam: gossip, rumpi, bakso, tas, sepatu hak tinggi, bedak, lipstik, yah ibu-ibu banget lah intinya. Maaf banget yaa, itu kan cuma pandanganku doang. Soalnya selama ini yang kulihat seperti itu. Aku pun calon guru SD yang mungkin akan kayak gitu nantinya, walaupun aku gak suka gossip dan bakso. Kenyataan pun didukung dengan kondisi riil dimana aku bekerja saat ini. Namun Dike Meilia si Anak Ajaib ini telah mengubah pandanganku. Kesanku berubah menjadi: Kreatif, Enerjik, Ceria, Ilmiah. Berbasis TI. Yeah! Ini baru PGSD yang keren!
Dike hanyalah seorang dari banyak anak PGSD yang keren. Hanya saja baru mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan Dike saja, jadi baru Dike lah yang membuka mata hatiku tentang PGSD. Banyak orang-orang PGSD lain yang juga keren. aktif organisasi, jago bersosialisasi, namun sepertinya baru Dike yang benar-benar menyentuh. Dike anaknya ceria, selalu mengajar dengan ceria pula, menyukai dunia anak, selalu menerapkan games dan ice breaking. Pokoknya kalo aku jadi murid, aku juga bakalan seneng kalo belajar sama Bu Dike J. Dike pun menerapkan model pembelajaran baru dalam penelitian skripsinya, yang bernama “DIKE”, gimana ga kreatif tuh? Disaat mahasiswa lain riweuh mencari dan bahkan memperebutkan model-model pembelajaran yang sudah tersedia, Dike tidak perlu repot-repot. Aku saja bikin skripsi asal jadi, yang penting cepat beres, cepat sidang, cepat lulus. Tapi subhanallah…. Dike menyadarkanku bahwa kita harus memberikan yang terbaik dalam segala kesempatan.
Baiklah, mulai sekarang aku bertekad, untuk ke depannya, akan berusaha memberikan yang terbaik dalam hal apapun. Bismillah….