Sabtu, 23 Maret 2013

40 Days Became “Bungsu” :)


This story is taken from a time when a took KKN (Kuliah Kerja Nyata) lecture. If you know me well, some of you may think that I’m cold, quiet, and cool (haha, the last adjective is questioned). I realize that I’m serious and ambitious. I’m too confidence that I’m smart, it makes me look cold. Not really actually. If you look at me deeper, you’ll find another kind of me. I’m so lazy and childish. At that time, I was so happy because it was the time I would meet my new family in KKN. I never knew them before. I like something new, espesially socializing with new persons. I didn’t want they to think that I was a cold person. I would make my image nice and friendly. So I prepared my best perfomance and my best smile too. I shaked their hands, my new family’s hands, confidently. I gave my best smile and laughed well. I tried to show that I’m an easy going person and I really enjoyed the time. When we talked, one of my new family said that we had one fighting athlete – of course it was me! They talked to me about fighting and thought that I was cold like the fighting athletes. Hmm, I was failed again.... L
Time steped, we were in our scary cost house.... We were talking about our nick name and our age. We chosed our father, mother, and children. And I, the youngest, of course became the youngest child and my nickname is BUNGSU. Wkwkwk, finally I could get this image :D. Because of that, I felt so free, free to act like a child and develope my childish character. Became the youngest child in a new family was my first experience. In my real family, I’m a first child. In the lecture world, I was an ambitious  student. In my organizations, I’m serious enough. So now, I proudly present my new family when it was KKN:
·     EDI SANJAYA a.k.a Ayah Pono (because he was the oldest and he acted like boss)
·     ARNI DWI INDRIANI a.k.a Bundo Arni (because she knew well about housewife’s problems)
·     RULLY DEA CLARA RM a.k.a Om Ulgantze (because he was like metrosexual uncle-uncle, wkwkwk)
·     IRFAN DZIHANI a.k.a A Egat (this was the nick name for the oldest son, Egat was given from me because he ever wore Arsenal jersey and it reminded me of A Egat a.k.a ‘Cesc Fabregas)
·     DINI NOVIANTI SUTRISNA a.k.a Teh Dini (this was the nick name for the oldest daughter, our olest sister was so smart and became mother’s assistant)
·     ANGGA MUHAMMAD IQBAL a.k.a Garonk (he got the nick name from his best friends, so we used it too. But his face was like garonk too, wkwk)
·     NIDA HOFIYAN a.k.a Omenk (she got the name because of her speech’s style – like omenk, wkwk)
·     JUWITA NUJHATUSSOLIHAH a.k.a Dek Wita (Sister Wita was our father’s favorite daughter, so the nick name is the favorite nick name from our father too, acieee :*)
·     WALISON ANDRI a.k.a Icon (he got the name from his real family, sometimes we called him pangais bungsu)
·     HANA RIANA PERMATASARI a.k.a Bungsu Cute (of course because I’m the youngest and I’m really cute :D)
For the first time, I felt so happy because of this position. Becoming a youngest child meant getting more affection from the others, ahhahay.... But actually not! Because, here, the youngest child was a bullying object, huhu T_T. So, it was me, the victim of the family bullying L. But, for the 40 days, it was the great time lived with new family like them! :D
this photo was taken at Omenk's 21st birthday
(right to left: Dad, Mom, me:), Ully, Wita, Omenk, Oldest Bro, Oldest Sist, Garonk, Icon) 

Senin, 18 Maret 2013

My Mom's Diary


This is a story about my mom and dad’s romance. One day, when I cleaned the house – my routinity every holiday – I found a book on a corner. It was 2008, when my parents have come from the Holy Land – Mecca. I opened that book a red the text.  Actually, it was my mom’s diary! The diary told about her feeling when she was in Mecca. Every moment was a great moment, of couse. But, a point that I like was about her love story there. She wrote that she spent a lot of time with her husband a.k.a my dad. She felt so romantic there because they could pray together. It reminded me too with one of Doel Sumbang’s song – Duriat Madinah. Hmm, my mind flied into myself and my little brothers. Here, in our house, my parents were so busy and tired because of us and how to manage our little family well. But there, might be, they forgot about us for a while. They focused on their responsibilities to Allah and it made they romantic. They really enjoyed time they closed to Allah and also closed each other. It became their own romantic story and it made their love stronger. Hopely J

Handsome boy ‘n cute girl, wkwkwk :p

Minggu, 17 Maret 2013

Canggung


Canggung. Sebuah judul cerpen yang terdapat di majalah Horison dari Perpustakaan SMA beberapa tahun yang lalu. Aku selalu ingat cerpen itu, dan ceritanya. Mengisahkan tentang pergolakan batin seorang anak yang beranjak remaja ketika kedua orangtuanya mengajaknya tinggal bersama kembali. Anak itu memang tinggal bersama neneknya sejak kecil. Dan ketika orangtuanya mengajak untuk tinggal bersama, anak itu merasa canggung. Canggung karena ia tinggal bersama neneknya sangat lama, dan untuk tinggal bersama kedua orangtuanya akan sangat sulit, sulit karena canggung. Salah satu bagian cerita itu yang sangat kuingat adalah ketika si anak sedang menimba air di sumur, lalu sang nenek memanggilnya ke ruang tamu, dan ketika melihat siapa tamu yang datang saja si anak sudah merasa canggung. Begitulah kira-kira. Sederhana namun sangat menyentuh, bagiku terutama.
Ya. Cerpen ini sangat menyentuh karena memang mirip dengan cerita kehidupan nyataku. Aku pun begitu. Aku sangat lama tinggal bersama nenek. Tidur di kasur empuk nyaman dengan selimut tebal hangat di samping nenek setiap malam. Padahal, awalnya aku canggung jika tidur dengan nenek, yang ada malah insomnia. Aku tidur dengan mama sejak kecil sampai umur 8 tahunan. Karena pada usia itulah mama, ayah, dan adikku membeli rumah dan tidak tinggal dengan nenek. Berhubung sekolahku dekat dengan rumah nenek, aku tetap bersama nenek, bibi, paman, dan sepupuku. Awalnya sulit. Sangat sulit bagi anak kecil sepertiku. Jika aku dibully di sekolah, aku mengadu pada siapa. Jika ada masalah tentang pelajaran, aku bertanya pada siapa. Aku butuh kedua orang tuaku.
Setiap sore, setelah pulang kantor, ayah mampir ke rumah nenek. Tujuannya ya untuk sekedar istirahat sejenak, ikut makan, salat, dan menandatangani PR-PR ku. Saat SD dulu, setiap PR harus dibubuhi tandatangan orangtua agar guru dapat memantau bahwa pekerjaan rumah memang dikerjakan siswa di rumah. Aku selalu meminta ayah menandatanganinya. Tapi, itu bukanlah hal yang penting. Justru aku membenci rutinitas itu. Mengapa? Karena setiap ayah menandatangani PR, itu artinya beberapa saat lagi ayah akan pulang ke rumahnya. Aku memang sengaja mengakhirkan kegiatan itu. Dan saat-saat yang paling tidak dinantikan pun tiba – melihat ayah pergi dengan motornya di depan rumah  sampai benar-benar tidak terlihat di tikungan sambil berteriak dadah dadaaaaah (kebetulan saat itu sedang musim serial Teletubbies, jadi gayanya mirip Thinky Winky and the gank menutup acara gituuu....). Itu adalah momen sedih yang harus kualami setiap hari. Mungkin rutinitas itu terjadi kira-kira pukul 5 sore atau menjelang magrib setiap harinya. Sampai magrib, aku masih sedih, sedih mendalam. Namun pada malam harinya, aku biasa kembali.
Waktu bergerak, SD, SMP. Saat SMP, aku masih merasakan hal yang sama, kesedihan mendalam setiap senja menjelang. Namun sudah agak berkurang. Alasannya bukan karena aku sudah remaja, jadi bisa dewasa dan lebih tegar. Alasannya lebih kepada, aku mengerti bahwa ayahku sudah mengalami banyak kemajuan dalam karirnya, jadi ia sibuk. Ayah sudah membeli mobil dan gaya hidupnya jadi sedikit agak mewah. Aku mendapat pelajaran baru dalam kehidupan. Pelajaran tentang materi. Materialistis. Pemikiranku saat itu kira-kira begini, “Alhamdulillah ayah sudah sukses, jadi tidak perlu sedih jika tidak tinggal dengan mereka, toh kita sudah sama-sama bahagia.” Bahagia karena harta.
Waktu kembali bergerak, SMP, SMA. Saat SMA, aku semakin parah, kacau. Perkembanganku ke arah kedewasaan sepertinya mengalami konsleting sedikit. Aku dipengaruhi pemikiran-pemikiran aneh yang datangnya dari diri sendiri. Pemikiran tersebut adalah simpulan dari perasaan-perasaan yang kudapat sejak kecil. Perasaan dianaktirikan, perasaan kurang kasih sayang, perasaan materialistik, perasaan imajiner akhirnya menghasilkan pemikiran irrasional yang hanya dianut olehku sendiri. Aku jauh dari orangtua dan merasa sangat dekat dengan nenekku. Sehingga segala sesuatu berotientasi pada nenek (grandmotheroriented-red). Aku juga semakin brutal dalam mengejar kesuksesan, sehingga banyak melupakan hal-hal semacam kasih sayang dan ketenangan jiwa. Aku sudah bisa fight dan bosan dengan kesedihan. Tidak ada lagi bully, dimarahi guru, atau pelajaran sulit. Aku cuek. Yang kukejar saat itu adalah remaja sukses duniawi. Aku berbuat semauku dan menurutku semua pemikiranku benar, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Aku pun merasa bahwa apabila banyak yang salah dengan perliakuku, itu semua karena pola asuh yang kuterima selama ini. Aku merasa hidup masing-masing. Ada jembatan panjang antara rumah ayah dan rumah nenek. Ayah dan mama fokus dengan kehidupan rumah tangga dan karirnya, aku dan nenek pun begitu
Hingga aku menemukan sebuah cerpen di majalah favoritku, Horison. Canggung. Pada awalnya, aku tidak menyangka jalan ceritanya akan sangat berkesan. Hingga aku baca dan merasa takjub sendiri. Ini cerpen gue banget! Cerpen itu pulalah yang menegur hatiku bahwa sesungguhnya aku telah kehilangan kendali. Dehidrasi akan sebuah keharmonisan. Seharusnya aku menyelamatkan diriku sendiri. Aku sendiri merasa canggung, sangat canggung dengan orang tua saat SMA.
Kuliah pun tiba. Hidup mandiri sebagai anak kost yang jauh dari orang tua memang bukan hal yang mudah bagi kebanyakan remaja. Namun bagiku biasa saja. Sangat biasa dan sangat mudah apabila dibandingkan dengan sulitnya menghadapi rutinitas menyebalkan menjadi Thinky Winky atau Dipsy setiap menjelang senja. Sebagian temanku banyak yang homesick, beberapa diantaranya menangis galau di kost masing-masing. Mereka sangat menanti yang namanya libur panjang agar bisa pulang ke rumah dan bertemu sanak keluarga. Aku justru sangat betah di tempat kost karena banyak hal baru yang kutemukan di kota besar ini. Sebagian dari mereka bertanya, “Kok kamu aneh. Memang ngga kangen rumah?” Aku menjawab, “Aku kan emang ngga tinggal sama mama dari kecil. Aku udah kenyang sedih waktu kecil. Jadi sekarang biasa aja.” Aku juga mahasiswa baru yang paling jarang berkomunikasi dengan mama, kalau teman-temanku hampir setiap hari menelepon ataupun ditelepon ibunya. Kalau aku, paling dua minggu sekali, itu pun isinya: “Uang masih ada Teh?”
Yah begitulah secuil kisahku tentang “Canggung” dari SD sampai kuliah. Sepertinya bukan aku saja, melainkan masih banyak kawan-kawan sesama canggungers yang lain. Yang terpenting bagiku sekarang adalah, aku sedang berusaha tidak canggung lagi dengan cara mencoba sedikit curhat pada mama. Aku mulai sedikit terbuka. Mulai meminta restu kedua orang tua apabila ada rencana (jarang banget gue kaya gini, paraahh).
Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Amiiin....

I miss you Mom ‘n Dad J