Selasa, 22 April 2014

Dike Merubah Pandanganku terhadap PGSD

Alhamdulillah…. Allah memberikanku kesempatan untuk mengenal lebih dekat sosok yang satu ini. Dike Meilia namanya. Beliau adalah mahasiswa PGSD UPI Angkatan 2009 Keminatan IPA. Meskipun kami berada dalam satu prodi selama 4 tahun, namun baru kali ini aku dapat belajar banyak hal dari beliau. Sebenarnya, asumsi pertamaku terhadap Dike hanya satu kata: Rohis. Yaa maksudnya beliau ini semacam anak-anak alim yang sering nongkrong di masjid dan aktif di organisasi keagamaan. Maklum, aku belum pernah satu kelas dengannya. Aku ingat pertama kali kami berkenalan di masa MOKA. Beliau dan sahabatnya, Lisna, mengajakku kenalan dengan ramah dan bersahabat. Kali ini kami dapat lebih dekat karena sama-sama bekerja di tempat yang sama.
Dike adalah seorang anak rantau yang berasal dari Majalengka. Berhubung aku agak mengenal sekolah-sekolah yang berada di sekitar Jawa Barat, maka ketika aku tahu bahwa Dike adalah lulusan SMAN 1 Majalengka, aku yakin bahwa dia anak yang cerdas. Hehehe, agak diskriminasi juga ya aku…. Aku hapal sekolah-sekolah favorit di beberapa daerah. Selain itu, Dike pun cuek, ga begitu memperhatikan penampilan, yang penting sopan dan rapi. Ngga menor gitu dandanannya… Dan begitu kutahu bahwa Dike juga senang membaca buku-buku macam Enid Blyton, Goosebumps, dan sebagainya, aku pun bertambah yakin bahwa dia anak ajaib! Hahaha lebay banget…. Soalnya selama beberapa tahun di Bandung, jarang-jarang aku menemukan anak semacam ini, padahal mungkin sebenarnya banyak yaa….
Kesanku terhadap PGSD adalah hal-hal semacam: gossip, rumpi, bakso, tas, sepatu hak tinggi, bedak, lipstik, yah ibu-ibu banget lah intinya. Maaf banget yaa, itu kan cuma pandanganku doang. Soalnya selama ini yang kulihat seperti itu. Aku pun calon guru SD yang mungkin akan kayak gitu nantinya, walaupun aku gak suka gossip dan bakso. Kenyataan pun didukung dengan kondisi riil dimana aku bekerja saat ini. Namun Dike Meilia si Anak Ajaib ini telah mengubah pandanganku. Kesanku berubah menjadi: Kreatif, Enerjik, Ceria, Ilmiah. Berbasis TI. Yeah! Ini baru PGSD yang keren!
Dike hanyalah seorang dari banyak anak PGSD yang keren. Hanya saja baru mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan Dike saja, jadi baru Dike lah yang membuka mata hatiku tentang PGSD. Banyak orang-orang PGSD lain yang juga keren. aktif organisasi, jago bersosialisasi, namun sepertinya baru Dike yang benar-benar menyentuh. Dike anaknya ceria, selalu mengajar dengan ceria pula, menyukai dunia anak, selalu menerapkan games dan ice breaking. Pokoknya kalo aku jadi murid, aku juga bakalan seneng kalo belajar sama Bu Dike J. Dike pun menerapkan model pembelajaran baru dalam penelitian skripsinya, yang bernama “DIKE”, gimana ga kreatif tuh? Disaat mahasiswa lain riweuh mencari dan bahkan memperebutkan model-model pembelajaran yang sudah tersedia, Dike tidak perlu repot-repot. Aku saja bikin skripsi asal jadi, yang penting cepat beres, cepat sidang, cepat lulus. Tapi subhanallah…. Dike menyadarkanku bahwa kita harus memberikan yang terbaik dalam segala kesempatan.
Baiklah, mulai sekarang aku bertekad, untuk ke depannya, akan berusaha memberikan yang terbaik dalam hal apapun. Bismillah….

FILM YANG MEMOTIVASI



Baru hari Sabtu kemarin, tepatnya pada tanggal 5 April 2014 senja hari, aku mendapatkan beberapa film dari seorang kawan, sebut saja namanya Angga Muhammad Iqbal atau yang biasa kita kenal dengan “Garonk”. Sebenarnya aku tak begitu suka film. Aku lebih suka novel dibandingkan film. Ini semua terjadi karena desakan murid-muridku di SSC Merdeka yang belajar IPS denganku. Mereka pengen banget nonton film yang berhubungan dengan sejarah. Berhubung Sabtu kemarin aku agak santai, entah mengapa akhir-akhir ini aku mendapat rezeki banyak waktu luang, Alhamdulillah…. Jadilah aku pergi ke kosan Garong untuk keperluan tersebut. Alhasil, beberapa film pun kudapatkan. Untuk manusia sejenis Garong, kupikir akan mendapatkan film-film perang documenter nan sadis. Ternyata eh ternyata film sejenis itu tidak ada sama sekali. Padahal aku berharap akan mendapat film seperti itu. Yaaah anak-anak zaman sekarang senengnya yang sadis-sadis. Hehehe, kalo bukan film sadis rasanya murid-muridku tidak akan tertarik. Halah halaaah, guru macam apaaa iniiii….
Alhasil kudapatkan beberapa film dengan beberapa genre. Ada yang documenter, komedi, drama. Yaah kebanyakannya sih untuk dikonsumsi diriku sendiri, hehe. Berhubung waktu luang yang banyak, Alhamdulillah lagi, jadilah selama akhir pekan aku sempat iseng membuka-buka folder film dari Garong. Padahal tadinya aku sama sekali tidak tertarik. Pertama, aku membuka film berjudul “Grave of the Fireflies” atau “Kuburan Kunang-kunang”. Itu film anime. Tapi kata Garong, tuh film tentang Perang Dunia II dan sedih banget, Garong pun ampe ga kuat nontonnya. Karena penasaran dengan film yang bias bikin Garong Si Preman Cemen nangis, maka aku pun menonton film itu pertama. Jadi ceritanya tuh aku baru pulang jogging Minggu pagi, baru selesai ngejemur pakaian, lagi siap-siap sarapan bubur belakang kolam renang UPI. Pertamanya sih gak niat-niat banget. Tapi pas pertama klik, dan mulai film… Wah keliatannya rame. Dan akhirnya…. Aku ga punya jeda sama sekali untuk mem-pause film itu. Karena setiap segmennya…. Luar biasa! Ga ada yang membosankan. Emang ga salah nih film bias bikin preman cemen nangis, hehehe…
Review sedikit yaa. Jadi ceritanya tuh tentang kehidupan sebuah keluarga pada saat Perang Dunia 2 di Jepang. Sebenarnya keluarga tersebut bias dibilang keluarga berada. Ayahnya semacam Jenderal di Angkatan Laut. Ibunya cantik. Anak pertama seorang pemuda yang bernama Seita berusia sekitar 15 tahunan, dan anak kedua perempuan berusia sekitar 6 tahunan yang bernama Setsuko. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang Seita. Alur yang digunakan adalah alur campuran. Jadi di awal kita melihat akhir hidup Seita, Lalu flashback ke awal cerita. Konflik bermula saat Sang Ibu meninggal gara-gara serangan udara dari pasukan Sekutu. Jadilah Seita dan Setsuko harus berjuang menghadapi kehidupan perang tanpa orang tua. Dimulai dari menumpang kepada Bibi. Namun akhirnya mereka tidak betah karena sang Bibi dianggap terlalu mengatur mereka. Sebenarnya sederhana banget sih ya ceritanya, terus gada surprise juga, mudah ditebak, cuma penyajiannya tuh kereeen banget! Recommended banget lah buat segala usia, segala kalangan! Dan film ini berhasil menghipnotisku seharian. Jadi selama hari minggu itu aku jadi males ngapa-ngapain, pengennya tuh ngebayangin film itu terus. Jadilah Minggu kemarin aku ga sempet beres-beres kamar, hehehe. 

Kemampuan Pemahaman Konsep



Nasution (1982: 161) mengatakan bahwa bila seseorang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas, atau kategori, maka ia telah belajar konsep.
Ruhimat et al. (2009: 141) mengatakan bahwa konsep/teori adalah suatu ide atau gagasan atau suatu pengertian umum, suatu set atau sistem pernyataan yang menjelaskan serangkaian fakta, dimana pernyataan tersebut harus memadukan, universal, dan meramalkan.
Berdasarkan pendapat para ilmuwan tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah suatu ide atau gagasan yang menjelaskan serangkaian fakta dan dibentuk dengan memandang sifat-sifat yang sama sebagai suatu kelompok, golongan, kelas, atau kategori serta menunjuk pada pemahaman dasar.
Pemahaman, menurut NCTM (Salimi, 2010) dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam:
a.         Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan
b.        Mengidentifikasikan dan membuat contoh dan bukan contoh
c.         Menggunakan model, diagram
Mustofa (Salimi, 2009) berpendapat bahwa pemahaman konsep memberikan kontribusi yang besar pada pengambilan keputusan, baik itu dalam situasi belajar maupun situasi lainnya. Dalam memaknai suatu objek atau peristiwa, individu harus memahami terlebih dahulu konsep tentang hal yang berkaitan dengan objek atau peristiwa tersebut. Pemahaman konsep tidak hanya sekedar mengingat, tetapi individu mampu menerapkan konsep-konsep tersebut ke dalam suatu rangkaian permasalahan. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran.
Heruman (2007: 3) mengatakan bahwa pemahaman konsep adalah pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari penanaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya.
Skemp (Sutrisno, 2012) membedakan pemahaman ke dalam tiga macam, yaitu:
a.         pemahaman instrumental (instrumental understanding)
b.        pemahaman relasional (relational understanding)
c.         pemahaman logis (logical understanding)
Pemahaman instrumental adalah kemampuan seseorang menggunakan prosedur matematis untuk menyelesaikan masalah tanpa mengetahui mengapa prosedur itu digunakan. Dengan kata lain siswa hanya mengetahui “bagaimana” tetapi tidak mengetahui “mengapa”. Pada tahapan ini, pemahaman konsep masih terpisah dan hanya sekedar hafal suatu rumus untuk menyelesaikan permasalahan rutin / sederhana sehingga siswa belum mampu menerapkan rumus tersebut pada permasalahan baru yang berkaitan. Sementara itu, pemahaman relasional adalah kemampuan seseorang menggunakan prosedur matematis dengan penuh kesadaran bagaimana dan mengapa prosedur itu digunakan. Secara ringkasnya, siswa mengetahui keduanya yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Pada tahap ini, siswa dapat mengaitkan antara satu konsep atau prinsip dengan konsep atau prinsip lainnya dengan benar dan menyadari proses yang dilakukan. Sedangkan pemahaman logis berkaitan erat dengan meyakinkan diri sendiri dan meyakinkan orang lain. Dengan kata lain, siswa dapat mengkonstruksi sebuah bukti sebelum ide-ide yang dimilikinya dipublikasikan secara formal atau informal sehingga membuat siswa tersebut merasa yakin untuk membuat penjelasan kepada siswa yang lain.
Dalam Petunjuk Teknis Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 Tanggal 11 November 2004 (Sutrisno, 2012), disebutkan indikator kemampuan pemahaman konsep adalah kemampuan siswa untuk:
a.         menyatakan ulang sebuah konsep,
b.        mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu,
c.         memberi contoh dan non contoh dari konsep,
d.        menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis,
e.         mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep,
f.         menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu, dan
g.        mengaplikasikan konsep dan algoritma pemecahan masalah
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep adalah kesanggupan atau kecakapan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang memuat indikator kemampuan pemahaman konsep. Dalam penelitian ini, kemampuan pemahaman konsep yang dimaksud adalah kemampuan pemahaman konsep operasi hitung bilangan bulat. Kemampuan pemahaman konsep operasi hitung bilangan bulat adalah kemampuan siswa yang meliputi: menyatakan ulang konsep operasi hitung bilangan bulat, menyajikan konsep operasi hitung bilangan bulat dalam bentuk representasi matematis, menggunakan operasi hitung bilangan bulat, serta mengaplikasikan konsep operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah.


Daftar Pustaka:
Heruman. (2007). Model Pembelajaran Matematika di SD. Bandung: Rosda.
Ruhimat, T. et al. (2009). Kurikulum & Pembelajaran. Bandung: Kurtekpend.
Salimi, M. (2010). Model Enactive, Iconic, Simbolik untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Perkalian Bilangan Cacah Siswa Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas II SDN Pancasila Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat). Skripsi pada Program Studi PGSD UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sutrisno. (2012). Pemahaman Matematis. [Online]. Tersedia: http://anobosze.blogspot.com/2012/12/pemahaman-matematis.html [27 April 2013]
 

Pendekatan Problem Solving



Menurut Ruhimat et al. (2009: 172), pendekatan pembelajaran adalah suatu upaya menghampiri makna pembelajaran melalui suatu cara pandang dan pandangan tertentu atau aplikasi suatu cara pandang dan pandangan tertentu dalam memahami makna pembelajaran. Pendekatan Problem Solving merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang mana menekankan pada pemecahan masalah dalam kegiatan pembelajarannya. Menurut Wena (2011: 60), pemecahan masalah adalah petunjuk untuk melakukan suatu tindakan yang berfungsi untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Pendekatan ini pertama kali dicetuskan oleh George Polya. Polya (1962: 117) mengatakan “.... to have a problem means: to search consiciously for some action appropriate to attain a clearly conveived, but not immediately attainable, aim. To solve a problem means to find such action.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa memiliki masalah merupakan mencari beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, namun tidak dengan segera tercapai. Memecahkan masalah berarti menemukan beberapa tindakan. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut (Polya, 1956):
a.         Memahami masalahnya.
b.        Membuat rencana penyelesaian
c.         Melaksanakan rencana penyelesaian.
d.        Memeriksa kembali, mengecek hasilnya.
Dewey (Nasution, 2009: 171) mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut:
a.         Pelajar dihadapkan dengan masalah
b.        Pelajar merumuskan masalah
c.         Ia merumuskan hipotesis
d.        Ia menguji hipotesis
Dalam Ruhimat et al. (2009: 144), beberapa langkah umum pemecahan masalah yang dapat ditempuh ialah:
a.       Mengenal permasalahan
b.      Merumuskan masalah
c.       Mengumpulkan berbagai data atau keterangan untuk pemecahan masalah
d.      Merumuskan dan menyeleksi kemungkinan pemecahan masalah
e.       Implementasi dan evaluasi
Ketiga pendapat tersebut pada intinya sama. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem Solving adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang langkah-langkahnya meliputi: memahami masalahnya, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, serta memeriksa kembali/mengecek hasilnya. Langkah-langkah tersebut masih berupa langkah-langkah yang bersifat umum dan belum bersifat teknis, adapun prosedur pemecahan masalah yang dikemukakan Giancoli (Wena, 2011: 60) antara lain:
a.         Baca masalahnya secara menyeluruh dan hati-hati sebelum mencoba untuk memecahkannya.
b.        Tulis apa yang diketahui atau yang diberikan, kemudian tuliskan apa yang ditanyakan.
c.         Pikirkan tentang prinsip, definisi, dan/atau persamaan hubungan besaran yang berkaitan. Sebelum mengerjakannya yakinkan bahwa prinsip, definisi dan/atau persamaan tersebut valid. Jika ditemukan persamaan yang hanya memuat kuantitas yang diketahui dan satu tidak diketahui, selesaikan persamaan tersebut secara aljabar.
d.        Pikirkanlah dengan hati-hati tentang hasil yang diperoleh, apakah masuk akal atau tidak masuk akal?
e.         Suatu hal yang sangat penting adalah perhatikan satuan, serta cek penyelesaiannya.
Langkah-langkah Problem Solving yang dikemukakan Giancoli tersebut merupakan penjabaran dari langkah-langkah yang dikemukakan Polya maupun Dewey. Berdasarkan langkah-langkah yang dikemukakan para ilmuwan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem Solving dapat memfasilitasi siswa untuk dapat memecahkan masalah secara sistematis sehingga materi yang diperoleh siswa dapat lebih bermakna dan kemampuan matematis siswa pun akan lebih terasah karena dibutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu dalam memecahkan masalah.
Seorang guru dituntut untuk dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah. Nasution (1982: 171) menyebutkan beberapa cara untuk membantu anak memecahkan masalah sebagai berikut:
a.         Cara yang paling tidak efektif ialah bila kita memperlihatkan kepada anak tentang cara memecahkan masalah itu.
b.        Cara yang lebih baik ialah memberikan instruksi kepada anak secara verbal untuk membantu anak memecahkan masalah itu.
c.         Cara yang terbaik ialah memecahkan masalah itu langkah demi langkah dengan menggunakan aturan tertentu, tanpa merumuskan aturan itu secara verbal. Dengan menggunakan contoh, gambar-gambar, dan sebagainya, belajar anak itu dibantu dan dibimbing untuk menemukan sendiri pemecahan masalah itu. Dengan cara demikian, mereka menemukan sendiri aturan yang diperlukan untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara terbaik membimbing siswa dalam penerapan Pendekatan Problem Solving adalah dengan memecahkan masalah itu secara bertahap dengan menggunakan aturan tertentu serta dengan menggunakan media seperti contoh, gambar, dan lain-lain.
Nasution (1982: 172) juga menjelaskan kondisi belajar memecahkan masalah sebagai berikut:
a.         Kondisi dalam diri pelajar merupakan kemampuannya untuk mengingat kembali aturan-aturan yang telah dipelajarinya sebelumnya yang berkenaan dengan pemecahan masalah itu. Kemampuan itu selalu bergantung pada pengalaman belajar yang lampau khususnya untuk mengingat kembali aturan-aturan tertentu.
b.        Kondisi dalam situasi situasi belajar. Kontiguitas diperlukan agar dapat menggunakan aturan-aturan secara berturut-turut. Instruksi verbal diperlukan untuk mendorong anak-anak mengingat kembali aturan yang diperlukan. Instruksi verbal itu maksudnya membimbing atau menjuruskan pemikiran pelajar ke arah tertentu. Bimbingan serupa ini diberikan oleh anak itu sendiri kepada dirinya dalam hal belajar sendiri.
Menurut Dahar (Wena, 2011: 63), untuk memperoleh pengetahuan prosedural dibutuhkan latihan-latihan dan umpan balik. Wena (2011: 63) juga mengatakan:
Dengan prosedur-prosedur pemecahan masalah, siswa diberi kesempatan untuk bekerja secara sistematis, siswa banyak melakukan latihan dan guru memberi petunjuk secara menyeluruh. Dengan latihan yang dilakukan oleh siswa, diharapkan siswa memiliki keterampilan dalam pemecahan soal. Penggunaan pemecahan masalah sistematis dalam latihan menyelesaikan soal didukung oleh teori belajar Ausubel tentang belajar bermakna, yang menekankan perlunya menghubungkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dengan menggunakan pemecahan masalah yang sistematis, siswa dilatih tidak hanya mengetahui apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, tetapi juga dilatih untuk menganalisis soal, mengetahui secara pasti situasi soal, besaran yang diketahui dan yang ditanyakan serta perkiraan jawaban soal.
Berdasarkan pendapat para ilmuwan mengenai Pendekatan Problem Solving, dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini cocok untuk diterapkan pada pembelajaran matematika mengingat bahwa matematika bukan sekedar mata pelajaran berupa pengetahuan umum ataupun hapalan, namun lebih membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu khususnya dalam pemahaman, penalaran, dan pemecahan masalah. Pendekatan Problem Solving dapat pula diterapkan pada mata pelajaran lain, bahkan mata pelajaran non eksak sekalipun. Melalui pendekatan ini, siswa dapat terfasilitasi untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut. Dengan memahami masalah, kemampuan pemahaman siswa akan terasah. Melalui penyusunan rencana penyelesaian, pelaksanaan rencana penyelesaian, dan pengecekan ulang, kemampuan penalaran dan pemecahan masalah siswa pun akan terasah.



Daftar Pustaka:
Nasution, S. (1982). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Polya, G. (1956). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Zurich: Princenton Paperbacks.
                    (1962). Mathematical Discovery Volume I. Zurich: Princenton Paperbacks.
Ruhimat, T. et al. (2009). Kurikulum & Pembelajaran. Bandung: Kurtekpend.
Wena, M. (2011). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: PT Bumi Aksara.