Hari ini, saya mengikuti
lokakarya. Masuk kelas lagi di WB Timur Gedung FIP dengan orang-orang “Matematika”
membuat saya merasa sedang mengikuti kuliah lagi setelah beberapa lama
menjalani PLP di Cibodas tercinta, hhehe. Saya senang kuliah. Kerjaannya hanya
duduk, bertemu banyak orang, mendengarkan, menyimak, mencatat, menjawab, bertanya,
menanggapi, presentasi, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Hal paling saya sukai
adalah mengkritisi materi yang diberikan dosen, khususnya bertanya, menanggapi,
dan mengerjakan soal-soal Matematika di depan (khusus matkul kematematikaan).
Kali ini, lokakarya yang saya ikuti adalah mengenai teknik penulisan artikel
ilmiah. Saat itu, sang pemateri yang juga dosen sedang menjelaskan tentang cara
penulisan atau pengetikan tanda baca. Beliau berprinsip, bahwa jarak antara
semua tanda baca dengan kata sebelumnya tidak menggunakan spasi, namun jarak
tanda baca dengan kata sesudahnya menggunakan spasi. Contoh:
Ketika anak
sekolah, mereka juga akan belajar bersosialisasi.
Bandung: UPI
Press.
Ya betul juga konsepnya, pikir
saya. Namun, pada pembahasan selanjutnya, saya menemukan banyak kekeliruan.
Beliau justru menggunakan prinsip tersebut ke tanda yang lain, dimana prinsip
itu berlaku tidak untuk semua tanda. Seperti inilah contoh kekeliruannya:
( Tarsiyem,
2005: 10)
“ Pendidikan
merupakan candu.”
Perhatikan spasi setelah tanda
kurung buka dan tanda petik, seharusnya tidak menggunakan spasi.
Beliau lalu membuka sesi diskusi,
cukup interaktif juga sesi diskusinya. Pertanyaannya juga seputar cara
penulisan, semacam ukuran huruf, spasi, dan lain-lain. Tapi tidak ada yang
mengkritisi perihal aturan tanda baca. Saya ingin sekali mengkritisinya. Saya
ingin tahu isi benak rekan-rekan sesama peserta di kelas, apakah mereka
menerima mentah-mentah aturan yang jelas salah tersebut atau mereka juga sudah
gatal ingin meluruskan namun malas berbicara? Saya juga takut ucapan saya nanti
dianggap tidak penting dan tidak berkualitas. Namun, karena memang lokakarya
ini tentang teknik penulisan, saya pikir kritik saya sangat relevan. Dan juga
sang pemateri berbicara mengenai itu-itu saja. Beliau pun mengatakan salah
penulisan tanda baca saja merupakan hal yang fatal. Ditambah lagi, ada
ungkapan: “Tegakkanlah kebenaran walaupun itu pahit.” Lagipula apabila puluhan
orang di kelas ini menerima pengetahuan yang salah sementara saya tahu namun
tidak meluruskan, maka saya yang berdosa. Aduh lebay banget ya sampai kesitu
segalaa, hehehe.
Akhirnya ketika sesi diskusi
sedang agak sepi, saya mengacungkan tangan kanan saya dan mulai berbicara, “Pak,
punten, untuk yang masalah EYD, bla.... bla.... bla....” (sedang cuap-cuap
ceritanya). Pada saat itu, sesi diskusi yang tadinya lumayan rame, jadi hening,
hanya saya yang berbicara. Mungkin para peserta, khususnya teman-teman sekelas
saya di Keminatan Matematika kangen dengar suara saya pada proses perkuliahan
(narsis banget sih guee, hehehe). Setelah itu, perkiraan saya, mungkin sang
pemateri keukeuh dengan pendapatnya. Namun ternyata tidak. Sang pemateri
langsung berkata, “Oh iya, coba Bapak periksa lagi,” sambil membuka-buka
halaman buku pegangannya. Dan langsung.... “Oh iya, Bapak salah, seharusnya
bla.... bla.... bla....” sambil mengedit presentasinya. “Bagus ya, terimakasih.
Kalau ada dari Keminatan Bahasa silakan kritisi lagi,” sahut sang pemateri
kemudian. Teman-teman sekelas saya langsung berkata, “Matematika Pak....!” “Oh
ya bagus, berarti murid Bapak pintar-pintar,” sahut sang pemateri. “Yeee....!”
kata teman-teman. Saya hanya nyengir sambil mengamini perkataan sang pemateri
sekaligus dosen kami itu.
Padahal, dalam hati, saya agak
menyesal juga.
Dari awal saya berguru kepada
pemateri tersebut. Walaupun tidak mengampu mata kuliah kami di semester awal, beliau
kenal saya karena saya ikut kegiatan Math Club. Beliau malah hapal nama saya
ketika kami tingkat II, pada saat salah satu mata kuliah kami diampu oleh
beliau. Dan terlebih lagi, beliau pernah menyebut saya “agak bisa” untuk
mengerjakan soal Matematika. Saya sempat eksis dengan berbekal ilmu Matematika.
Namun, ketika tingkat III, beliau
tidak mengampu mata kuliah kematematikaan, tetapi mata kuliah yang berhubungan
dengan pembelajaran. Dari sana, saya jadi “pendiam” ketika perkuliahan beliau.
Saya tidak suka memaksakan diri untuk aktif dalam perkuliahan yang tidak begitu
menarik bagi saya. Saya biasanya aktif pada perkuliahan yang saya senangi saja.
Mungkin, karena saya menjadi terkesan “tenggelam” di kolam perkuliahan, beliau
lupa nama saya. Bahkan pada hari ini, ketika saya mencoba membuktikan bahwa
saya masih eksis di bidang non-Matematika, beliau lupa saya berada di keminatan
apa. Sediiiiiih L
Baik. Mari kita petik hikmah dari
kejadian hari ini. Pertama, tegakkanlah kebenaran walaupun itu pahit. Salah
satunya adalah dengan speak up. Ini
juga akan membuat kita agak eksis, hehehe. Kedua, jadikanlah hari esok lebih
baik dari hari ini. Jangan seperti saya. Sudah baik di awal, dipuji, dipercaya,
eh besok-besoknya terlupakan L
Mengapa di atas saya katakan saya menyesal? Bukan saya kecewa? Karena saya
termasuk orang yang celaka dalam hal ini. Ada tiga tipe orang dalam hal
kualitas perubahan:
o Orang
yang beruntung, adalah orang yang dapat menjadikan hari ini lebih baik dari
hari kemarin J
o Orang
yang merugi, orang yang kualitas hari ini dengan hari kemarin sama
o Orang
yang celaka, orang yang kualitas hari ini menurun dari hari kemarin L
(dikutip dari
sebuah khutbah Jumat yang terdengar sampai kost-an saya)
Oleh karena itu, mari kita
jadikan hari esok lebih baik dari hari ini. Niatkan dan persiapkan proposal
perubahan ke arah yang lebih baik untuk hari esok, salah satu rujukannya adalah
dari kesalahan hari ini.
Selamat malam, selamat
beristirahat. Tidur yang nyenyak, semoga hari esok lebih baik. Amiiiin J
Kamar Unyu, 23.07 Sabtu malam ditemani alunan merdu irama hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar