Sabtu, 06 April 2013

Refleksi Hari Ini


Hari ini, saya mengikuti lokakarya. Masuk kelas lagi di WB Timur Gedung FIP dengan orang-orang “Matematika” membuat saya merasa sedang mengikuti kuliah lagi setelah beberapa lama menjalani PLP di Cibodas tercinta, hhehe. Saya senang kuliah. Kerjaannya hanya duduk, bertemu banyak orang, mendengarkan, menyimak, mencatat, menjawab, bertanya, menanggapi, presentasi, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Hal paling saya sukai adalah mengkritisi materi yang diberikan dosen, khususnya bertanya, menanggapi, dan mengerjakan soal-soal Matematika di depan (khusus matkul kematematikaan). Kali ini, lokakarya yang saya ikuti adalah mengenai teknik penulisan artikel ilmiah. Saat itu, sang pemateri yang juga dosen sedang menjelaskan tentang cara penulisan atau pengetikan tanda baca. Beliau berprinsip, bahwa jarak antara semua tanda baca dengan kata sebelumnya tidak menggunakan spasi, namun jarak tanda baca dengan kata sesudahnya menggunakan spasi. Contoh:
Ketika anak sekolah, mereka juga akan belajar bersosialisasi.
Bandung: UPI Press.
Ya betul juga konsepnya, pikir saya. Namun, pada pembahasan selanjutnya, saya menemukan banyak kekeliruan. Beliau justru menggunakan prinsip tersebut ke tanda yang lain, dimana prinsip itu berlaku tidak untuk semua tanda. Seperti inilah contoh kekeliruannya:
( Tarsiyem, 2005: 10)
“ Pendidikan merupakan candu.”
Perhatikan spasi setelah tanda kurung buka dan tanda petik, seharusnya tidak menggunakan spasi.
Beliau lalu membuka sesi diskusi, cukup interaktif juga sesi diskusinya. Pertanyaannya juga seputar cara penulisan, semacam ukuran huruf, spasi, dan lain-lain. Tapi tidak ada yang mengkritisi perihal aturan tanda baca. Saya ingin sekali mengkritisinya. Saya ingin tahu isi benak rekan-rekan sesama peserta di kelas, apakah mereka menerima mentah-mentah aturan yang jelas salah tersebut atau mereka juga sudah gatal ingin meluruskan namun malas berbicara? Saya juga takut ucapan saya nanti dianggap tidak penting dan tidak berkualitas. Namun, karena memang lokakarya ini tentang teknik penulisan, saya pikir kritik saya sangat relevan. Dan juga sang pemateri berbicara mengenai itu-itu saja. Beliau pun mengatakan salah penulisan tanda baca saja merupakan hal yang fatal. Ditambah lagi, ada ungkapan: “Tegakkanlah kebenaran walaupun itu pahit.” Lagipula apabila puluhan orang di kelas ini menerima pengetahuan yang salah sementara saya tahu namun tidak meluruskan, maka saya yang berdosa. Aduh lebay banget ya sampai kesitu segalaa, hehehe.
Akhirnya ketika sesi diskusi sedang agak sepi, saya mengacungkan tangan kanan saya dan mulai berbicara, “Pak, punten, untuk yang masalah EYD, bla.... bla.... bla....” (sedang cuap-cuap ceritanya). Pada saat itu, sesi diskusi yang tadinya lumayan rame, jadi hening, hanya saya yang berbicara. Mungkin para peserta, khususnya teman-teman sekelas saya di Keminatan Matematika kangen dengar suara saya pada proses perkuliahan (narsis banget sih guee, hehehe). Setelah itu, perkiraan saya, mungkin sang pemateri keukeuh dengan pendapatnya. Namun ternyata tidak. Sang pemateri langsung berkata, “Oh iya, coba Bapak periksa lagi,” sambil membuka-buka halaman buku pegangannya. Dan langsung.... “Oh iya, Bapak salah, seharusnya bla.... bla.... bla....” sambil mengedit presentasinya. “Bagus ya, terimakasih. Kalau ada dari Keminatan Bahasa silakan kritisi lagi,” sahut sang pemateri kemudian. Teman-teman sekelas saya langsung berkata, “Matematika Pak....!” “Oh ya bagus, berarti murid Bapak pintar-pintar,” sahut sang pemateri. “Yeee....!” kata teman-teman. Saya hanya nyengir sambil mengamini perkataan sang pemateri sekaligus dosen kami itu.
Padahal, dalam hati, saya agak menyesal juga.
Dari awal saya berguru kepada pemateri tersebut. Walaupun tidak mengampu mata kuliah kami di semester awal, beliau kenal saya karena saya ikut kegiatan Math Club. Beliau malah hapal nama saya ketika kami tingkat II, pada saat salah satu mata kuliah kami diampu oleh beliau. Dan terlebih lagi, beliau pernah menyebut saya “agak bisa” untuk mengerjakan soal Matematika. Saya sempat eksis dengan berbekal ilmu Matematika.
Namun, ketika tingkat III, beliau tidak mengampu mata kuliah kematematikaan, tetapi mata kuliah yang berhubungan dengan pembelajaran. Dari sana, saya jadi “pendiam” ketika perkuliahan beliau. Saya tidak suka memaksakan diri untuk aktif dalam perkuliahan yang tidak begitu menarik bagi saya. Saya biasanya aktif pada perkuliahan yang saya senangi saja. Mungkin, karena saya menjadi terkesan “tenggelam” di kolam perkuliahan, beliau lupa nama saya. Bahkan pada hari ini, ketika saya mencoba membuktikan bahwa saya masih eksis di bidang non-Matematika, beliau lupa saya berada di keminatan apa. Sediiiiiih L
Baik. Mari kita petik hikmah dari kejadian hari ini. Pertama, tegakkanlah kebenaran walaupun itu pahit. Salah satunya adalah dengan speak up. Ini juga akan membuat kita agak eksis, hehehe. Kedua, jadikanlah hari esok lebih baik dari hari ini. Jangan seperti saya. Sudah baik di awal, dipuji, dipercaya, eh besok-besoknya terlupakan L Mengapa di atas saya katakan saya menyesal? Bukan saya kecewa? Karena saya termasuk orang yang celaka dalam hal ini. Ada tiga tipe orang dalam hal kualitas perubahan:
o   Orang yang beruntung, adalah orang yang dapat menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin J
o   Orang yang merugi, orang yang kualitas hari ini dengan hari kemarin sama
o   Orang yang celaka, orang yang kualitas hari ini menurun dari hari kemarin L
(dikutip dari sebuah khutbah Jumat yang terdengar sampai kost-an saya)
Oleh karena itu, mari kita jadikan hari esok lebih baik dari hari ini. Niatkan dan persiapkan proposal perubahan ke arah yang lebih baik untuk hari esok, salah satu rujukannya adalah dari kesalahan hari ini.
Selamat malam, selamat beristirahat. Tidur yang nyenyak, semoga hari esok lebih baik. Amiiiin J

Kamar Unyu, 23.07 Sabtu malam ditemani alunan merdu irama hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar