Jumat, 20 Januari 2017

A Short Story of Hustiadi: Childhood and Teenager #1

Hustiadi was born in Dadiharja Village Rancah Ciamis, October 8th 1962. He is the first child of Husen, a teacher and Kantini, a housewife. Why was he named “Hustiadi”? What is the meaning of that name? When Kantini was pregnant, there was an incident. Some missionarists intended to build a church in Subang, a district near Dadiharja. Husen with his strong religion didn’t agree with that plan. One of his family was also affected by those missionarists and converted to Christian because of his poverty and as we know, missionarists usually do the approach to the poor people. To discomfit the missionarists, Husen went to Bandung and try to communicate with the pastor in the central church in Bandung. After that negotiation, the missionarists canceled the plan to build a church in Subang. When Kantini’s baby was born, Husen wanted the name of the baby can be memorized his heroic action. So, he named his first child: “HUSTIADI” which means “HUSEN TIDAK INGKAR AKAN DJALAN ALLAH”. He wished the baby could grow up as a man with the bravery and his strong religion.

Hustiadi has a younger brother and a younger sister. Hustiadi spent his childhood in Dadiharja and when he was teenager, he moved to Kuningan because Husen was reassigned to Kuningan. Hustiadi showed good performance in the subjects when he was in senior high school. Unfortunately, he got the intestinal pain when he was in the first year of senior high school. It made him has to get the intestinal surgery and missed the lessons for a while. At that time, he was going to die. After the, intestinal surgery, Hustiadi slept for some days. His father was pessimistic that he could be recover again. And in the morning, Hustiadi showed a movement when his father was praying. His father was so affected and said it was like finding the lost boy. Hustiadi saw it and he never forget his father’s words until now.

Kamis, 02 Juni 2016

MITOS DAN FAKTA SEPUTAR PENERIMAAN CPNS

Haiiiiii jumpa lagi dengan saya yang sudah lama tidak berkoar-koar di blog. Maklum, mau curcol teh asa ironi gituu tesis aja belum ada progress lagi, masak mau nulis yang gepete. Tapi gapapalah ya, mumpung sekarang kebetulan di kantor sedang agak santai, sepi, orang-orang pada dinas luar, khususnya mah atasan langsung saya sedang bertugas di luar hihihii.. Maaf, bukan bermaksud gabut tapi yaa ingin memanfaatkan waktu aja dengan hal-hal yang saya sukai. Well, udah dari sejak lama saya ingin post mengenai CPNS. Cuma kan konteks CPNS itu luas ya, saya sebenarnya benar-benar ingin share dari mulai pengalaman saya sekecil apapun. Cuma kalo kali ini saya sedang tertarik memposting “MITOS DAN FAKTA PENERIMAAN CPNS”. Gara-garanya kemarin-kemarin saya sempat dengar akan ada penerimaan CPNS kembali tahun 2016 ini. Banyak teman yang bertanya kepada saya mengenai kebenaran berita tersebut, namun saya pribadi belum dapat menentukan hal tersebut hoax atau bukan. Saya hanya menjawab berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya. Saya sendiri seringkali gatal dengan beberapa anggapan mengenai sistem penerimaan CPNS yang bagi saya itu sangat kuno dan sekarang sudah tidak berlaku lagi. Baik, berdasarkan kegatalan saya tersebut, saya pun berusaha sedikit-sedikit mensosialisasikan kebenaran-kebenaran dan ketidakbenaran-ketidakbenaran seputar penerimaan CPNS melalui postingan saya ini.

MITOS:
1.       Menjadi seorang CPNS adalah hal yang sangat sulit sehingga bisa menjadi CPNS disebut sebagai sebuah keajaiban.
2.       Info resmi penerimaan CPNS didapatkan dari mulut ke mulut, kurang terbuka, agar hanya kerabat-kerabat ‘orang dalam’ saja yang mendapatkan informasi tersebut.
3.       Kalau ingin jadi CPNS harus menjadi pegawai honorer terlebih dahulu selama bertahun-tahun.
4.       Kalau mau lolos CPNS, harus punya ‘orang dalam’ yang minimal-minimal pejabat Eselon IV.
5.       Kalau mau lolos CPNS, harus pake uang ratusan juta.
6.       Seleksi administrasi CPNS sangatlah ribet.
7.       Hasil tes CPNS tidak akan berpengaruh apapun karena pada ujung-ujungnya penerimaan CPNS sangat berbau KKN.
8.       Penempatan CPNS tergantung dari domisili kita.
9.       Soal-soal tes CPNS sangat sangat amat sulit.


Beberapa pernyataan di atas sangat amat tidak benar. Faktanya....

FAKTA:
1.       Menjadi CPNS merupakan hal yang relatif mudah, usaha-usaha untuk menggapainya juga sangat konkret, sehingga hal tersebut merupakan pencapaian yang lumrah dalam kehidupan ini.
2.       Seiring berkembangnya zaman, teknologi khususnya di bidang informasi pun berkembang pesat. Sehingga informasi mengenai penerimaan CPNS pun sangat terbuka. Internet menjadi kebutuhan pokok masyarakat di era modern. Berbagai sistem penerimaan pun hampir disosialisasikan melalui media ini. Kita harus cerdas dalam memfilter informasi, jangan sampai terjebak dalam info-info hoax. Informasi mengenai penerimaan CPNS hanya tersedia di website resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan juga Badan Kepegawaian Negara (BKN). Berbagai informasi lengkap dan jelas tersedia disana. Pendaftaran awal pun dilakukan dengan cara menginput data kita di website tersebut. Jangan pernah percaya akan omongan orang-orang yang sekiranya kurang dapat dipercaya, misal: “Kata Bapak A, pembukaan CPNS udah mulai, daftarnya ke Bapak A juga. Ayo ke rumahnya Bapak A sambil bawain kue.” Nah, hal-hal kaya gitu ga bener banget. Bayangin aja, yang tau tentang pendaftaran CPNS Cuma yang kenal sama Bapak A aja dong. Di zaman keterbukaan informasi sekarang ini, semua orang punya hak yang sama dalam memperoleh informasi. Asal sekali lagi, cerdas memilih dan memilah sumber yang valid. Oleh karena itu, kita harus selalu update info-info dari website Kemenpan atau BKN.
3.       Banyak orang yang terjebak dengan cara menjadi pegawai honorer dengan gaji yang sangat kecil, jauh di bawah UMR demi penantian untuk menjadi seorang CPNS. Hal ini khususnya terjadi di sekolah. Banyak yang beranggapan, kalau dengan menjadi pegawai honorer beberapa tahun, kita akan dimudahkan untuk menjadi CPNS. Saya selalu sedih ketika mengingat guru honorer yang gajinya sangat amat kecil, sekitar 300 ribu perbulan. Banyak rekan saya yang menjadi guru honorer dan bertahan dengan profesi tersebut dengan alasan “agar mudah diangkat menjadi CPNS”. Sekali lagi, saya tegaskan anggapan tersebut sangatlah amat tidak benar. Kalau alasannya, ingin mencari pengalaman atau ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan, saya sangat acungi jempol. Namun kalau hanya untuk menjadi CPNS, saya rasa tidak perlu menunggu penantian bertahun-tahun dengan gaji yang sangat teramat kecil. Kalau menjadi pegawai honorer di instansi pemerintah yang memang memberi gaji yang memadai tidak masalah, namun kalau di sekolah khususnya SD saya kurang setuju. Bukan apa-apa, menurut saya, kalau memang bercita-cita ingin menjadi seorang CPNS, lebih baik sambil menunggu pembukaan CPNS, mencari pekerjaan dengan gaji yang memadai sambil berlatih CPNS. Saya juga pernah menjadi honorer dengan niat mengabdikan diri dan memanfaatkan waktu saja, tidak melihat nominal gaji. Namun ketika saya merasa pekerjaan tersebut membebani saya sehingga saya kurang ada waktu untu berlatih soal-soal CPNS yang menjadi prioritas saya, saya mengajukan resign. Sulit sekali mengajukan resign pada saat itu. Salah seorang guru berkata kepada saya, “Sayang Neng, kalau resign. Kalau udah kerja bertahun-tahun, gampang diangkat jadi CPNS-nya.” Saya hanya manut-manut saja pada saat itu, padahal saya yakin kalau mau jadi CPNS tidak harus menunggu bertahun-tahun. Asalkan kita berusaha sungguh-sungguh dan maksimal dalam setiap tahapan, insya Allah kita mampu bersaing dengan orang lain. Saat itulah saya bertekad dalam hati, “Ya Bu, tapi saya tidak akan seperti Ibu yang menjadi pegawai honorer beberapa tahun untuk diangkat menjadi PNS. Saya akan langsung menjadi PNS karena kemampuan saya saat tes CPNS.”
4.       Ini berhubungan dengan poin nomor 2. Banyak orang yang langsung tiba-tiba melakukan pendekatan dengan orang-orang yang dianggap ‘orang dalam’. Yang disebut orang dalam disini contohnya pejabat-pejabat BKD. Ayah saya sempat berkarier di BKD dan pernah beberapa kali menerima orang-orang yang datang dan berupaya agar diangkat menjadi CPNS. Ini benar-benar anggapan yang kuno. Mungkin dulu pernah ada masa dimana untuk menjadi CPNS harus melakukan ritual seperti ini terlebih dahulu. Namun hey, ini zaman canggih, Broo....  Jangan pernah mempercayakan keberuntungan kepada orang lain. Saya tegaskan, PERCAYALAH TERHADAP KEMAMPUAN DIRI SENDIRI. Ayah saya juga berupaya mensosialisasikan kepada warga masyarakat bahwa penerimaan CPNS zaman sekarang itu benar-benar objektif. Tidak perlu melakukan pendekatan atau kirim-kirim kue kepada siapapun. Lebih baik kuenya dimakan oleh kita sendiri sebagai cemilan di sela-sela berlatih soal-soal CPNS, okay? ;)
5.       Saudara saya pernah tertipu dengan salah seorang oknum yang mengatakan bahwa kalau ingin jadi CPNS, harus bayar ratusan juta. Sayang sekali, saudara saya ini telah terlanjur mengeluarkan uang tersebut dan memang hal tersebut adalah hoax. Saya juga sangat menyayangkan kenapa saudara saya tersebut tidak berdiskusi dengan saya yang tidak mudah percaya kepada orang lain ini. Penerimaan CPNS saat ini benar-benar mengandalkan kemampuan otak sendiri, bukan kemampuan dompet sendiri. Lebih baik uang yang kita punya kita belikan buku-buku latihan CPNS.
6.       Memang banyak orang yang malas untuk mendaftar CPNS karena ribetnya seleksi administrasi, harus ada kartu kuning lah, harus ada surat keterangan catatan kepolisian lah, dan sebagainya. Memang mitos nomor 6 ada benarnya juga, agak ribet mengurus surat-surat, kita harus mengorbankan waktu kita untuk berkeliling ke setiap loket dan mengantri. Sebenarnya, pada penerimaan CPNS tahun 2014, seleksi administrasi tidak lagi seribet itu. Hanya ada beberapa surat saja yang perlu kita urus, tidak sebanyak sebelumnya. Kalau tidak salah, hanya membuat surat keterangan sehat, bebas narkoba, dan surat keterangan catatan kepolisian saja. Namun ya untuk berjaga-jaga, tidak ada salahnya juga mengurus surat yang lainnya.
7.       Lolos atau tidaknya kita menjadi CPNS SANGAT BERGANTUNG PADA HASIL TES CPNS. Sejak tahun 2013, seleksi CPNS menggunakan aplikasi CAT (Computer Assissted Test) dimana kita mengerjakan langsung di komputer, dan penggunaannya pun sangat mudah, lalu selesai mengerjakan kita langsung mengetahui skor hasil tes kita. Ketika kita keluar dari ruangan tes, kita dapat melihat papan berjalan berisi skor seluruh peserta tes yang telah diranking. Benar-benar terbuka, bukan? Jadi setelah itu, kita dapat memprediksi kita lolos atau tidak. Apabila skor kita bagus dan berada di posisi atas, kita dapat lebih tenang. Dengan adanya keterbukaan informasi seperti ini, kita memiliki bukti otentik. Misalnya, ketika pengumuman resmi kelulusan CPNS keluar namun nama kita tidak lolos padahal kita mendapatkan skor yang bagus, kita dapat melakukan protes kepada pihak panitia. Hasil CAT ini benar-benar tidak dapat diganggu gugat.
8.       Sistem penerimaan CPNS sekarang ini sangat terbuka. Di website Kemenpan maupun BKN, tersedia lowongan-lowongan instansi dan formasi jabatan untuk CPNS. Kita dapat memilih dimanapun di seluruh Indonesia. Orang Kabupaten Kuningan tidak harus mendaftar sebagai CPNS Pemkab Kuningan, bisa saja misalnya mendaftar di Pemprov Papua selagi instasi dan formasi jabatannya tersedia.
9.       Bagi saya, soal-soal yang diujikan dalam tes CPNS tidak sesulit soal-soal SNMPTN. Maklum, saya gagal saat mengikuti SNMPTN, hehehe.. Soal SNMPTN IPA sarat dengan hitungan dan rumus Matematika yang sangat rumit, pada saat itu saya belum terlalu suka Matematika. Soal tes CPNS hanya terdiri dari Tes Karakteristik Pribadi, Tes Wawasan Kebangsaan, dan Tes Intelegensia Umum. Tes Karakteristik Pribadi (TKP) ini yang paling gampang, soal-soalnya seperti soal-soal PKn SD. Kita tinggal memilih jawaban yang paling ideal saja (tidak perlu sesuai dengan kebiasaan kita, yang penting kita ada niat untuk mengambil sikap yang terbaik hehehe). Contoh soalnya semacam: “Ketika sedang mengikuti rapat, lalu ada anggota keluarga yang sakit, apa yang akan Anda lakukan?” gitu-gitu lah, intinya kan kita memilih jawaban yang paling bijak dan sesuai dengan etika. Kalau Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini yang dianggap paling sulit diantara dua jenis soal lainnya. Tes ini berupa soal-soal materi PKn dan Sejarah sekolah menengah, seperti Pancasila, UUD 1945, Sistem Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, gitu-gitu dah. Pokoknya tinggal baca buku pelajaran PKn dan Sejarah SMA deh. Beberapa teman saya gagal tes CPNS karena skor TWK-nya di bawah passing grade. Jadi memang diperlukan hapalan yang kuat untuk menguasai TWK ini. Nah kalau Tes Intelegensia Umum (TIU) itu seperti psikotes, semacam deret bilangan, padanan kata, silogisme, perbandingan, dan sebagainya. Kita tinggal sering-sering berlatih psikotes saja, hitungannya pun tidak sulit.


Jadi, pesan dari saya, intinya kita harus menjadi anak muda yang cerdas, kritis, dan melek informasi. Percayalah pada kemampuan diri sendiri, berdoa, dan minta restu orang tua. Insya Allah ketika ada niat yang baik dan kita selalu optimis, Allah akan memudahkan. Aamiin....

CPNS dengan Pakaian Dinas Harian (PDH) warna khaki

Rabu, 23 Desember 2015

Pemecahan Masalah (Problem Solving)

A.       Pengertian Masalah
Cooney et al. (Shadiq, 2014) menyatakan pengertian masalah sebagai berikut “…for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student.” Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ‘tantangan’ dan ‘belum diketahuinya prosedur rutin’ pada suatu pertanyaan yang akan diberikan kepada para siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya suatu pertanyaan menjadi ‘masalah’ atau hanyalah suatu ‘soal’ biasa.

B.       Pengertian Pemecahan Masalah
Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian pemecahan masalah dari yang dikemukakan oleh para ahli. Polya (1962: 117) mengatakan “.... to have a problem means: to search consiciously for some action appropriate to attain a clearly conveived, but not immediately attainable, aim. To solve a problem means to find such action.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa memiliki masalah merupakan mencari beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, namun tidak dengan segera tercapai. Memecahkan masalah berarti menemukan beberapa tindakan.
Sedangkan menurut Wena (2011: 60), pemecahan masalah adalah petunjuk untuk melakukan suatu tindakan yang berfungsi untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Sementara itu, Shadiq (2014: 105) menyatakan bahwa pemecahan masalah (problem solving) adalah proses berpikir untuk menentukan apa yang harus dilakukan ketika kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan.
Lebih lanjut, Xin et al. (2008) menjelaskan kemampuan pemecahan masalah sebagai berikut:
Problem solving is the cornerstone of school mathematics. specific problem-solving behaviors distinguish successful problem solvers from poor problem solvers. For instance, successful problem solvers (a) quickly and accurately identify the mathematical structure (e.g. compare) of a problem that is generalizable across a wide range of similar problems, (b) remember a problem's structure for a long time, and (c) distinguish relevant from irrelevant information.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan landasan pembelajaran matematika.. Beberapa karakteristik pemecah masalah yang berhasil misalnya (a) dengan cepat dan akurat mengidentifikasi struktur matematika (contoh: membandingkan) dari masalah yang digeneralisasikan di berbagai macam masalah yang sama, (b) ingat struktur masalah ini untuk waktu yang lama, dan (c) membedakan informasi yang relevan dari informasi yang tidak relevan. Singkatnya, pemecah masalah sukses membangun masalah mereka pemecahan pada model konseptual dari situasi masalah.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah (problem solving) memiliki dua peran, yaitu sebagai salah satu model/pendekatan pembelajaran dan sebagai salah satu kemampuan yang diperoleh siswa setelah mempelajari Matematika.

C.       Langkah-langkah Pemecahan Masalah
Adapun langkah-langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut (Polya, 1956):
-            Memahami masalahnya.
-            Membuat rencana penyelesaian
-            Melaksanakan rencana penyelesaian.
-            Memeriksa kembali, mengecek hasilnya.
Dewey (Nasution, 2009: 171) mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut:
a.         Pelajar dihadapkan dengan masalah
b.        Pelajar merumuskan masalah
c.         Ia merumuskan hipotesis
d.        Ia menguji hipotesis
Dalam Ruhimat et al. (2009: 144), beberapa langkah umum pemecahan masalah yang dapat ditempuh ialah:
a.       Mengenal permasalahan
b.      Merumuskan masalah
c.       Mengumpulkan berbagai data atau keterangan untuk pemecahan masalah
d.      Merumuskan dan menyeleksi kemungkinan pemecahan masalah
e.       Implementasi dan evaluasi
Ketiga pendapat tersebut pada intinya sama. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem Solving adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang langkah-langkahnya meliputi: memahami masalahnya, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, serta memeriksa kembali/mengecek hasilnya. Langkah-langkah tersebut masih berupa langkah-langkah yang bersifat umum dan belum bersifat teknis, adapun prosedur pemecahan masalah yang dikemukakan Giancoli (Wena, 2011: 60) antara lain:
a.         Baca masalahnya secara menyeluruh dan hati-hati sebelum mencoba untuk memecahkannya.
b.        Tulis apa yang diketahui atau yang diberikan, kemudian tuliskan apa yang ditanyakan.
c.         Pikirkan tentang prinsip, definisi, dan/atau persamaan hubungan besaran yang berkaitan. Sebelum mengerjakannya yakinkan bahwa prinsip, definisi dan/atau persamaan tersebut valid. Jika ditemukan persamaan yang hanya memuat kuantitas yang diketahui dan satu tidak diketahui, selesaikan persamaan tersebut secara aljabar.
d.        Pikirkanlah dengan hati-hati tentang hasil yang diperoleh, apakah masuk akal atau tidak masuk akal?
e.         Suatu hal yang sangat penting adalah perhatikan satuan, serta cek penyelesaiannya.
Langkah-langkah Problem Solving yang dikemukakan Giancoli tersebut merupakan penjabaran dari langkah-langkah yang dikemukakan Polya maupun Dewey. Berdasarkan langkah-langkah yang dikemukakan para ilmuwan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem Solving dapat memfasilitasi siswa untuk dapat memecahkan masalah secara sistematis sehingga materi yang diperoleh siswa dapat lebih bermakna dan kemampuan matematis siswa pun akan lebih terasah karena dibutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu dalam memecahkan masalah.

D.      Contoh Pemecahan Masalah
Berikut contoh soal pemecahan masalah:
Kotak-kotak persegi di bawah ini harus diisi dengan bilangan 1, 2, 3, …, 9. Setiap bilangan muncul tepat satu kali. Bilangan-bilangan yang terdapat pada bagian kanan dan bawah merupakan hasil perkalian tiga bilangan pada setiap baris dan kolom yang bersesuaian. Tentukan bilangan yang dinyatakan dengan tanda “*”.




  9




 *
             72     105    48

144
126
20

Untuk menyelesaikan masalah ini, kita dapat memberi pemisalan terhadap angka-angka yang dimasukkan dengan cara memberi huruf a, b, c, d, e, f, g, h, dan i pada kolom yang kosong.

 a
 b
 c
 d
 e
 f
 g
 h
 i
             72     105    48

144
126
20

Huruf h = 5, karena 5 merupakan faktor dari 20 dan 105. Perhatikan bahwa hanya 20 dan 105 yang habis dibagi 5. Bilangan lain tidur memiliki faktor 5 tersebut. Huruf e = 7, karena 7 merupakan faktor 105 dan 126. Berdasar hasil yang sudah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa b = 5 dan f = 2. Selanjutnya, g dan I bernilai 4 dan g = 1. Jadi, bilangan yang harus dimasukkan ke dalam persegi dengan tanda “*” adalah 4. Selanjutnya, berdasarkan tahapan pemecahan masalah, kita dapat mengecek kembali apakah hasil yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan, yakni bilangan-bilangan yang terdapat pada bagian kanan dan bawah merupakan hasil perkalian tiga bilangan pada setiap baris dan kolom yang bersesuai.

DAFTAR RUJUKAN
Nasution, S. (1982). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Polya, G. (1956). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Zurich: Princeton Paperbacks.
Ruhimat, T. et al. (2009). Kurikulum & Pembelajaran. Bandung: Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
Shadiq, F. (2014). Pembelajaran Matematika: Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suriasumantri, J.S. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wena, M. (2011). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Xin, Y. P. et al. (2008). Teaching Conceptual Model-Based Word Problem Story Grammar to Enhance Mathematics Problem Solving. The Journal of Special Education, 42, 163-178.




Penalaran, Jenis-jenis Penalaran, dan Indikator Penalaran

A.     Konsep Penalaran
Penalaran dikenal juga dengan istilah reasoning. Terdapat beberapa pengertian mengenai penalaran yang dikemukakan para ahli. Suriasumantri (2009: 42) menjelaskan bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Lebih lanjut, Suriasumantri (2009: 42) mengatakan:
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
 Sedangkan Copi (Shadiq, 2014: 25) menjelaskan istilah penalaran atau reasoning sebagai berikut, “Reasoning is a special kind of thinking in which inference takes place, in which conclusions are drawn from premises.” Lebih lanjut, Keraf (Shadiq, 2014: 42) menjelaskan istilah penalaran sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan berupa pengetahuan baru dengan cara menghubung-hubungkan fakta berdasarkan pada beberapa pernyataan yang disebut premis. Istilah yang berkaitan dengan istilah penalaran adalah argumen. Giere (Shadiq, 2014: 25) mengatakan “An argument is a set of statements divided into two parts, the premises and the intended conclusion.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pernyataan yang menjadi dasar penarikan kesimpulan inilah yang disebut dengan premis. Sedangkan hasilnya, suatu pernyataan baru yang merupakan kesimpulan disebut dengan konklusi (Shadiq, 2014: 25). Menurut Suriasumantri (2009: 46), agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih. Terdapat bermaam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang saksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita mempunyai logika deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang berisifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus). Ilmu yang mempelajari tentang penalaran atau penarikan kesimpulan disebut logika. Penalaran dapat dibedakan menjadi penalaran secara induktif dan penalaran secara deduktif.
B.     Penalaran Induktif
Dalam Suriasumantri (2009: 48), induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Sementara itu, John Stuart Mill (Shadiq, 2014: 42) menyatakan bahwa induksi merupakan suatu kegiatan budi, dimana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk kasus-kasus khusus, juga akan benar untuk semua kasus yang serupa dengan yang tersebut tadi untuk hal-hal tertentu.
Giere (Shadiq, 2014: 43) menyatakan: “The general characteristic of inductive arguments is that they are knowledge expanding; that is, their conclusions contain more information than all they are premises combined.”
Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa penalaran induktif adalah suatu cara berpikir yang diawali dari hal-hal yang bersifat khusus untuk digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Dalam Shadiq (2014: 43) disebutkan bahwa penarikan kesimpulan pada induksi yang akan bersifat umum (general) ini akan menjadi sangat penting, karena ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum. Hal inilah yang telah menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif (induksi) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deduksi). Contoh dari kelebihan penalaran induktif ditunjukkan oleh ilmuwan terkenal dari Perancis, yaitu Galileo Galilei pada saat menemukan teori yang berkaitan dengan hubungan antara waktu ayun dan jarak ayun suatu bandul (Jacobs dalam Shadiq, 2014: 43).
Penarikan kesimpulan pada induksi yang akan bersifat umum (general) ini akan menjadi sangat penting, karena ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan pernyataan baru yang bersifat umum. Hal inilah yang telah menjadi kelebihan dari penalaran induktif (induksi) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deduksi).
Namun demikian, di samping kelebihan yang ia miliki, deduksi juga memiliki kelemahan yaitu suatu pernyataan yang bersifat umum (general) yang merupakan hasil dari proses induksi harus dibuktikan kebenarannya dengan cara pembuktian deduktif atau dengan menunjukkan kesalahannya melalui suatu contoh sangkalan (counter example).
C.       Penalaran Deduktif
Menurut Suriasumantri (2009: 48), penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut:
Semua makhluk mempunyai mata (premis mayor)
Si Polan adalah seorang makhluk (premis minor)
Jadi Si Polan mempunyai mata (kesimpulan)

Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
Jacobs (Shadiq, 2014: 63) menyatakan “Deductive reasoning is a method of drawing conclusions from the facts that we accept as true by using logic.” Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika. Suatu hal yang sudah jelas pun harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkah-langkah yang benar secara deduktif.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa penalaran deduktif adalah dapat disimpulkan bahwa penalaran induktif adalah suatu cara berpikir yang diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk ditarik kesimpulan kepada hal yang bersifat khusus serta biasanya menggunakan silogismus.
Pada proses induksi atau penalaran induktif akan didapatkan suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) yang melebihi kasus-kasus khususnya (knowledge expanding), dan inilah yang diidentifikasi sebagai suatu kelebihan dari induksi dibandingkan dengan deduksi. Hal ini pulalah yang menjadi kelemahan deduksi.
Pada deduksi yang valid atau sahih, kesimpulan yang didapat diklaim tidak akan pernah salah jika premis-premisnya bernilai benar (truth preserving). Hal inilah yang diidentifikasi sebagai kelebihan dari deduksi jika dibandingkan dengan hasil pada proses induksi.
D.      Indikator Penalaran
Sumarmo (dalam Kusnadi) memberikan indikator kemampuan yang termasuk pada kemampuan penalaran matematika, yaitu:
-         Membuat analogi dan generalisasi
-         Memberikan penjelasan dengan menggunakan model
-         Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika
-         Menyusun dan menguji konjektur
-         Memeriksa validitas argumen
-         Menyusun pembuktian langsung
-         Menyusun pembuktian tidak langsung
-         Memberikan contok penyangkal
-         Mengkuti aturan enferensi
Sedangkan menurut Asep Jihad (2013), indikator penalaran terdiri atas:
-         Menarik kesimpulan logis
-         Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan.
-         Memperkirakan jawaban dan proses solusi
-         Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika
-         Menyusun dan menguji konjektur
-         Merumuskan lawan contoh (counter examples)
-         Mengikuti aturan inferensi, memeriksa valisitas argument
-         Menyusun argumen yang valid
-         Menyusun pembuktian langsung, tidak langsung, dan menggunakan induksi matematika

DAFTAR RUJUKAN
proposalmatematika23.blogspot.co.id/2013/05/kemampuan-penalaran-matematika.html
Shadiq, F. (2014). Pembelajaran Matematika: Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suriasumantri, J.S. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.




Sebuah Prolog dari Zulfichar Kurniadi

Dulu Adi cuma cowo biasa-biasa aja yang item, kecil, dekil, ga ada yang suka merhatiin dan yang lebih parah 6 tahun megang rekor jomblo. Pernah suka ke cewe pas masa kuliah cuma ditolak mentah-mentah hmmm nasib…. Lulus kuliah fokus kerja dan tetep masih ga ada yang ngelirik dan pernah dibilang amat sangat ga masuk katagori mantu idaman. Jatuh bangun, suka duka, pait manis, semuanya dijalani sendiri. Ga ada yang pernah tau tentang Adi yang sebenernya dan ga ada temen yang bisa diajak berbagi tentang semua hal yang udah Adi alamin. Sempet ngerasa hidup ga adil, udah belajar mati-matian tapi cita-cita ga kesampean dan udah coba bersikap sebaik mungkin tetep ga dapet pacar. Masuk tahun 2014 dimana ada kabar bakal ada pembukaan CPNS. Karena niat pingin banggain orang tua sama pingin masuk katagori mantu idaman, mulai lagi belajar keras demi lolos CPNS. Sempet galau mau daftar kemana, antara Kota Bandung yang nerima 15 orang atau Pemprov Jabar yang nerima 1 orang untuk jurusan Adi. Tapi akhirnya adi diyakinkan sama Gusti Allah kalo Adi harus daftar ke Pemprov Jabar dengan tujuan adi yang terbaik pas tes. 11 November 2014, akhirnya instansi yang ditunggu-tunggu buka juga pendaftaran. Dengan semangat 45 dan gamau lagi dipandang sebelah mata, adi mantep daftar ke Pemprov Jabar. 8 Desember 2014, hari yang menentukan apakah adi layak atau engga lolos CPNS dengan ujian CAT. Semua keringet keluar saking tegangnya, semua hapalan dibaca ulang ampe kayanya tu bacaan udah bosen Adi baca bolak-balik. Tes udah dilalui nilaipun keluar dan jeng jeng…. Scorenya 364 dan jadi peringkat 2 di sesi itu. Sempet was-was bakal ga lolos karna liat di sesi lain nilainya jauh banyak yang lebih gede. Hari Jumat 30 Januari akhiiiiiiiirrrnya waktu yang ditunggu-tunggu dateng juga, pengumuman kelulusan CPNS dan puji syukur Alhamdulillah nama adi masuk jadi salah satu peserta yang lolos bareng sama 124 peserta lainnya. Haru seneng lemes pingin jingkrak-jingkrak ga bisa diem pokoknya campur aduk setelah tau lolos, akhirnya kerja juga udah ga fokus jadi mutusin untuk pulang. Nyampe rumah langsung nyari ibu dan langsung sujud nyium kaki ibu, dan ibu nangis waktu Adi sujud di kakinya. 2 Februari 2015, pengarahan peserta yang lolos di BKD sambil pemberkasan. Finally, datang ke BKD sebagai CPNS hahahaha. Ketemu banyak temen baru yang luar biasa seru banyak berbagi cerita selama persiapan, selama tes sama selama nunggu pengumuman. Semuanya kelihatan seneng ga ada yang manyun apalagi udah dikasih snack sama BKD-nya hehe. Akhirnya beres pengarahan ga lama ada grup whatsapp yang sebelumnya ada grup bbm dulu cuma karna daya tampungnya sedikit semua pindah ke whatsapp. Makin lama grup CPNS makin rame, makin gokil sama makin asik…. Endingnya kita mutusin untuk ngadain kopdar CPNS yang pertama. Dan dari Kopdar itu semua cerita sesungguhnya dimulai..

Sabtu, 09 Mei 2015

Pengalaman Pertama Menjadi Asisten Dosen :)



Hai Teman-teman, kali ini saya akan berbagi pengalaman saya sebagai seorang asisten dosen atau yang biasa disingkat asdos. Baik, sebenarnya sudah sejak lama saya ingin sekali menjadi asdos. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan saya terhadap para dosen atau akademisi bahwa mereka memiliki status atau kedudukan sosial yang tinggi. Begitupun pula dengan asisten dosen. Menurut saya, mereka memiliki status yang hampir sama dengan dosen, karena mereka dapat menggantikan sang dosen mengajar, berdiskusi dengan mahasiswa, dan tentunya tidak sembarang orang bisa menjadi asisten. Dulu ketika SMA, bayangan saya terhadap dosen adalah para professor yang sudah kakek-kakek. Begitu saya masuk kuliah, saya baru mengetahui ternyata dosen adalah manusia biasa, berpenampilan biasa pula. Saya lebih aneh lagi dengan beberapa asisten dosen yang masih muda, bahkan kakak tingkat kami yang hanya beberapa tahun usianya di atas kami dapat mengajar dengan percaya diri. Sejak itulah saya menyimpulkan bahwa dosen tidak harus professor kakek-kakek, tapi anak-anak muda pun bisa menjadi seperti dosen dengan cara menjadi asisten dosen terlebih dahulu. Saya pun sangat mengagumi kakak-kakak yang menjadi asisten dosen, karena mereka masih muda namun begitu terampil mengajar dan memiliki pengetahuan yang luas. Tentunya dalam pikiran saya, mereka bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang cerdas yang terpilih. Sejak saat itu saya berhasrat untuk menjadi akademisi muda pula, berusaha belajar dengan sebaik-baiknya dan aktif dalam perkuliahan agar suatu saat nanti saya pun akan bisa menjadi seperti mereka. Waktu demi waktu pun berlalu, setiap perkuliahan saya berusaha memberikan yang terbaik dan Alhamdulillah saya pun memperoleh hasil yang memuaskan. Namun, saya belum pula mendapat tawaran menjadi asisten dosen. Saya perhatikan, saat itu beberapa teman saya dapat sudah dapat dikatakan menjadi seorang asisten dosen. Saya sempat membicarakan ini dengan teman-teman yang lain, memang teman-teman yang menjadi asdos tersebut adalah para KM yang tentunya sering berkomunikasi dengan dosen dan kami pun berkesimpulan bahwa yang dapat menjadi asdos hanyalah para KM, atau orang yang dikenal dosen saja. Saya juga merasa sudah berusaha aktif dalam diskusi setiap perkuliahan agar dapat dikenal, namun mungkin itu tidak cukup untuk bisa ‘dikenal’ oleh dosen. Pernah suatu saat ketika saya mampir ke fakultas lain, saya membaca selebaran  yang berisi pengumuman penerimaan asisten laboratorium. Disana tercantum beberapa poin persyaratan, diantaranya terdapat persyaratan akademik berupa IPK. Tidak ada poin ‘harus dekat dengan dosen yang bersangkutan’. Saya pun sempat mengetahui dari teman yang menjadi asdos di UNDIP, bahwa dia mengikuti seleksi penerimaan asdos sebelum bisa menjadi asdos. Saya pun menggerutu dalam hati karena jurusan saya berbeda dengan jurusan yang lainnya, dimana tidak sembarang orang bisa menjadi asdos. Hanya orang-orang terpilih sajalah dalam artian mampu secara akademik yang bisa menjadi asdos. Kalau sistem penerimaan asdos di jurusan saya seperti itu, saya yakin seyakin-yakinnya saya bisa berusaha belajar maksimal untuk tes penerimaan dan saya berpeluang untuk menjadi asdos di usia muda. Akhirnya saya hanya bisa mengubur dalam-dalam impian saya untuk menjadi asdos, karena saya mengakui bahwa walaupun saya bisa berusaha meningkatkan pengetahuan dan pemahaman saya terhadap materi perkuliahan, namun saya memiliki kemampuan sosialisasi yang terbatas. Keterampilan sosialisasi saya mah segini-ginya aja, udah ga bisa dibuat-buat biar deket ama orang, apalagi yang jauh lebih tua.
Singkat cerita, saya pun melanjutkan pendidikan di jenjang S2 pada institusi yang sama. Saya sudah tidak berharap akan adanya panggilan menjadi asisten. Tujuan saya pada saat itu adalah cepat lulus S2 agar bisa mendaftar seleksi PNS dosen dan diterima menjadi dosen di sebuah universitas dimana pun, caranya ya saya harus menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, syukur-syukur apabila bisa dapat beasiswa saat S2 ini. Alhamdulillah, saya mendapatkan suatu kejutan yang tidak terduga. Karena pada saat saya baru masuk perkuliahan S2 kebetulan dosen-dosen sebuah mata kuliah umum di universitas saya sedang membutuhkan beberapa orang asisten, saya dan beberapa teman mendapat tawaran untuk  menjadi asisten dosen. Itu juga berkat rekomendasi dari salah seorang sahabat saya, Teh Desi Sukmawati, yang sudah lebih dulu menjadi asisten. Sebuah cita-cita terpendam yang akhirnya terwujud pula. Saya pernah memiliki impian suatu saat nanti saya akan mengabdikan diri di perguruan yang sejuk ini, belajar maupun berbagi ilmu yang telah saya peroleh. Dan Alhamdulillah impian itu dapat saya rasakan sekarang. Hari-hari saya habiskan di kampus tercinta ini. Di kampus ini pula saya tetap bisa menikmati sejuknya dataran tinggi Bandung Utara, bersilaturahmi dengan teman-teman, berdiskusi dengan mahasiswa, dan lain-lain.
Dan apabila ada yang bertanya bagaimana rasanya menjadi asisten dosen, jawabannya ya…sangat sangat menyenangkan sekaliii…. Sehari sebelum saya memulai kelas pertama, saya sudah minta bimbingan kepada Teh Desi yang lebih senior mengenai teknis perkuliahan di kelas. Beliau pun mengajari saya si bocah sableng, dengan sabar hehehe. Dengan hanya bermodal semangat yang tinggi dan muka anak kecil polos, saya pun memulai kelas pertama saya. Jantung saya tidak berhenti berdebar selama saya melangkahkan kaki menuju sebuah fakultas yang menjadi saksi perjuangan saya selama satu semester (oalaaahhh hahaha). Dan, tibalah saya di sebuah kelas dengan nomor ruangan yang sesuai dengan jadwal yang saya bawa. Sekilas saya melihat ke dalam kelas tersebut, deg! banyak sekali mahasiswanya. Sekali lagi saya mencocokkan nomor ruangan dan jadwal dengan seksama, tidak salah lagi, this is my first class! Keringat saya mengucur semakin deras. Saya pun memberanikan diri untuk melongok sedikit dan berusaha bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang duduk paling dekat dengan pintu. Pertanyaannya kira-kira: “Ini mata kuliah *tuuut* ya? Dengan dosen pengampu Pak *tuuut* ya?” Dan mahasiswa tersebut pun mengangguk. Saya pun hanya bisa ber-“ooo” ria sambil beberapa kali mengangguk. Mungkin mahasiswa itu berkata dalam hatinya: “Ni orang mahasiswa baru apa emang nyasar?” Saya melirik arloji, belum pukul 7 teng. Maka saya pun putuskan untuk mencari space untuk bisa menarik napas dan menenangkan diri sejenak. Dan tepat pukul 7 saya pun memulai lembar hidup baru, jreng jreng…. Hahaha. Kisah saya dalam kelas tidak perlu saya ceritakan secara detail karena tentunya itu sangat memalukan! Of course, I’m so nervous! Pertama saya masuk pasti orang bertanya-tanya, sapa tu anak? Tapi ketika saya menuju ke meja dosen, menaruh tas disana, dan memasangkan laptop saya pada kabel LCD, barulah para mahasiswa berdesas-desus oh asdos toh… Yaa begitulah, mungkin kelas pertama pada menit-menit pertama sangat menyebalkan, berbicara dengan kaku, tidak nyaman, dan sebagainya. Tapi ketika kita sudah bisa beradaptasi dengan keadaan, semuanya terasa menyenangkan! Saya bisa berbicara apapun dengan lancar, spontan, dan mengalir apa adanya. Dan ya…akhirnya saya bisa mengatakan saya puas dengan pertemuan pertama saya, hingga menuju kelas-kelas selanjutnya pun saya tidak sabar untuk menunggu. Saya memang diamanahi untuk menjadi asisten di tiga kelas dengan fakultas yang sama. Jujur, saya merasa agak waswas dengan tiga kelas tersebut.Masalahnya, ketiga kelas tersebut merupakan jurusan pendidikan bahasa! Oke oke, saya buka kartu. Kelas pertama tadi adalah pendidikan bahasa nasional negara kita, paham laahh…. Asumsi saya, mereka itu pasti kritis masalah penggunaan bahasa yang baik dan benar. Sementara saya jarang terlatih menggunakan bahasa yang baik dan benar, seringnya pakai bahasa gaul campuran, ga jelas bahasa apa. Oleh karena itu, saya agak kaku dan gagu di menit-menit awal kelas tadi karena tekanan harus menggunakan bahasa yang baku tea, tapi setelah dipikir-pikir toh mereka itu baru tingkat pertama, baru masuk kuliah, dan baru lulus SMA, jadi gausah yang baku-baku teuing juga gapapa keleess…. Oke, kelas kedua adalah kelas bahasa daerah asal saya, ya udah bisa nebak lah ya jurusan apa…. Emang sih kelas ini adalah kelas yang saya bayangkan paling mudah saya hadapi dibanding dua kelas yang lain karena biasanya anak-anak jurusan ini terkenal ramah dan humoris, memang orang-orang daerah kami terkenalnya begitu. Tapi saya terbebani juga, masalahnya saya belum lancar menggunakan bahasa daerah saya sendiri, hihihi. Dalam bahasa daerah kami, ada beberapa jenis penggunaan bahasa yang dibedakan berdasarkan kepada siapa kita berbicara dan dimana kita menggunakan pembicaraan tersebut. Dan saya akui itu sulit untuk saya. Masalahnya, saya sedari kecil diajari bahasa nasional di rumah. Saya baru mengenal bahasa daerah di bangku sekolah dan itupun bahasa pergaulan yang agak kasar, jadi saya suka takut menggunakan bahasa lemes daerah saya yang biasanya digunakan dalam acara formal dan kepada orang yang kita hormati. So, saya jelaskan saja kepada mahasiswa saya jurusan tersebut di awal perkuliahan bahwa saya memang kurang lancar menggunakan bahasa daerah, aduh malu-maluin yah, hehehe. Saya akui itu salah satu kekurangan saya sebagai pendidik karena seharusnya pendidik itu memberikan contoh yang baik bagi peserta didik, saya malah kebalikannya. Lanjut ke kelas yang ketiga. Naah ini nih kelas yang bikin saya gabisa tidur karena kepikiran terus. Saya kan baru banget jadi asdos, kok udah dikasih kelas kaya gini, ckckck. Emang kelas kaya gimana sih yang saya maksud? Well, kelas sebuah jurusan dimana mahasiswanya tuh pas denger nama jurusannya aja kita udah ngebayangin mereka tuh kuat-kuat agamanya tapi masih di fakultas bahasa, yaa paham kali yaa…. Ini problematik banget buat saya. Masalahnya, mata kuliah yang saya asisteni ini adalah ilmu sosial aplikatif yang rentan dikritisi, apalagi kalau sudah dihubungkan dengan agama. Terus mereka juga biasanya lulusan sekolah-sekolah bagus yang rata-rata alumninya pada jago berkomunikasi dan mengemukakan pendapat. Kebayang banget lah mereka bakal kritis kaya apa, sementara saya cuma anak kecil culang-cileung yang kebetulan aja terpanggil jadi asdos.
Pada kenyataannya, perkiraan saya tidak jauh beda, kelas pertama memang banyak yang pintar dan humoris, kelas kedua sopan dan ramah, dan kelas ketiga kritis dan cerdas. Hanya saja yang berbeda adalah, mereka jauh jauh jauh jauuuuhhh lebih menyenangkan daripada yang saya duga :)