Sabtu, 09 Mei 2015

Pengalaman Pertama Menjadi Asisten Dosen :)



Hai Teman-teman, kali ini saya akan berbagi pengalaman saya sebagai seorang asisten dosen atau yang biasa disingkat asdos. Baik, sebenarnya sudah sejak lama saya ingin sekali menjadi asdos. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan saya terhadap para dosen atau akademisi bahwa mereka memiliki status atau kedudukan sosial yang tinggi. Begitupun pula dengan asisten dosen. Menurut saya, mereka memiliki status yang hampir sama dengan dosen, karena mereka dapat menggantikan sang dosen mengajar, berdiskusi dengan mahasiswa, dan tentunya tidak sembarang orang bisa menjadi asisten. Dulu ketika SMA, bayangan saya terhadap dosen adalah para professor yang sudah kakek-kakek. Begitu saya masuk kuliah, saya baru mengetahui ternyata dosen adalah manusia biasa, berpenampilan biasa pula. Saya lebih aneh lagi dengan beberapa asisten dosen yang masih muda, bahkan kakak tingkat kami yang hanya beberapa tahun usianya di atas kami dapat mengajar dengan percaya diri. Sejak itulah saya menyimpulkan bahwa dosen tidak harus professor kakek-kakek, tapi anak-anak muda pun bisa menjadi seperti dosen dengan cara menjadi asisten dosen terlebih dahulu. Saya pun sangat mengagumi kakak-kakak yang menjadi asisten dosen, karena mereka masih muda namun begitu terampil mengajar dan memiliki pengetahuan yang luas. Tentunya dalam pikiran saya, mereka bukan orang sembarangan, mereka adalah orang-orang cerdas yang terpilih. Sejak saat itu saya berhasrat untuk menjadi akademisi muda pula, berusaha belajar dengan sebaik-baiknya dan aktif dalam perkuliahan agar suatu saat nanti saya pun akan bisa menjadi seperti mereka. Waktu demi waktu pun berlalu, setiap perkuliahan saya berusaha memberikan yang terbaik dan Alhamdulillah saya pun memperoleh hasil yang memuaskan. Namun, saya belum pula mendapat tawaran menjadi asisten dosen. Saya perhatikan, saat itu beberapa teman saya dapat sudah dapat dikatakan menjadi seorang asisten dosen. Saya sempat membicarakan ini dengan teman-teman yang lain, memang teman-teman yang menjadi asdos tersebut adalah para KM yang tentunya sering berkomunikasi dengan dosen dan kami pun berkesimpulan bahwa yang dapat menjadi asdos hanyalah para KM, atau orang yang dikenal dosen saja. Saya juga merasa sudah berusaha aktif dalam diskusi setiap perkuliahan agar dapat dikenal, namun mungkin itu tidak cukup untuk bisa ‘dikenal’ oleh dosen. Pernah suatu saat ketika saya mampir ke fakultas lain, saya membaca selebaran  yang berisi pengumuman penerimaan asisten laboratorium. Disana tercantum beberapa poin persyaratan, diantaranya terdapat persyaratan akademik berupa IPK. Tidak ada poin ‘harus dekat dengan dosen yang bersangkutan’. Saya pun sempat mengetahui dari teman yang menjadi asdos di UNDIP, bahwa dia mengikuti seleksi penerimaan asdos sebelum bisa menjadi asdos. Saya pun menggerutu dalam hati karena jurusan saya berbeda dengan jurusan yang lainnya, dimana tidak sembarang orang bisa menjadi asdos. Hanya orang-orang terpilih sajalah dalam artian mampu secara akademik yang bisa menjadi asdos. Kalau sistem penerimaan asdos di jurusan saya seperti itu, saya yakin seyakin-yakinnya saya bisa berusaha belajar maksimal untuk tes penerimaan dan saya berpeluang untuk menjadi asdos di usia muda. Akhirnya saya hanya bisa mengubur dalam-dalam impian saya untuk menjadi asdos, karena saya mengakui bahwa walaupun saya bisa berusaha meningkatkan pengetahuan dan pemahaman saya terhadap materi perkuliahan, namun saya memiliki kemampuan sosialisasi yang terbatas. Keterampilan sosialisasi saya mah segini-ginya aja, udah ga bisa dibuat-buat biar deket ama orang, apalagi yang jauh lebih tua.
Singkat cerita, saya pun melanjutkan pendidikan di jenjang S2 pada institusi yang sama. Saya sudah tidak berharap akan adanya panggilan menjadi asisten. Tujuan saya pada saat itu adalah cepat lulus S2 agar bisa mendaftar seleksi PNS dosen dan diterima menjadi dosen di sebuah universitas dimana pun, caranya ya saya harus menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, syukur-syukur apabila bisa dapat beasiswa saat S2 ini. Alhamdulillah, saya mendapatkan suatu kejutan yang tidak terduga. Karena pada saat saya baru masuk perkuliahan S2 kebetulan dosen-dosen sebuah mata kuliah umum di universitas saya sedang membutuhkan beberapa orang asisten, saya dan beberapa teman mendapat tawaran untuk  menjadi asisten dosen. Itu juga berkat rekomendasi dari salah seorang sahabat saya, Teh Desi Sukmawati, yang sudah lebih dulu menjadi asisten. Sebuah cita-cita terpendam yang akhirnya terwujud pula. Saya pernah memiliki impian suatu saat nanti saya akan mengabdikan diri di perguruan yang sejuk ini, belajar maupun berbagi ilmu yang telah saya peroleh. Dan Alhamdulillah impian itu dapat saya rasakan sekarang. Hari-hari saya habiskan di kampus tercinta ini. Di kampus ini pula saya tetap bisa menikmati sejuknya dataran tinggi Bandung Utara, bersilaturahmi dengan teman-teman, berdiskusi dengan mahasiswa, dan lain-lain.
Dan apabila ada yang bertanya bagaimana rasanya menjadi asisten dosen, jawabannya ya…sangat sangat menyenangkan sekaliii…. Sehari sebelum saya memulai kelas pertama, saya sudah minta bimbingan kepada Teh Desi yang lebih senior mengenai teknis perkuliahan di kelas. Beliau pun mengajari saya si bocah sableng, dengan sabar hehehe. Dengan hanya bermodal semangat yang tinggi dan muka anak kecil polos, saya pun memulai kelas pertama saya. Jantung saya tidak berhenti berdebar selama saya melangkahkan kaki menuju sebuah fakultas yang menjadi saksi perjuangan saya selama satu semester (oalaaahhh hahaha). Dan, tibalah saya di sebuah kelas dengan nomor ruangan yang sesuai dengan jadwal yang saya bawa. Sekilas saya melihat ke dalam kelas tersebut, deg! banyak sekali mahasiswanya. Sekali lagi saya mencocokkan nomor ruangan dan jadwal dengan seksama, tidak salah lagi, this is my first class! Keringat saya mengucur semakin deras. Saya pun memberanikan diri untuk melongok sedikit dan berusaha bertanya kepada salah seorang mahasiswa yang duduk paling dekat dengan pintu. Pertanyaannya kira-kira: “Ini mata kuliah *tuuut* ya? Dengan dosen pengampu Pak *tuuut* ya?” Dan mahasiswa tersebut pun mengangguk. Saya pun hanya bisa ber-“ooo” ria sambil beberapa kali mengangguk. Mungkin mahasiswa itu berkata dalam hatinya: “Ni orang mahasiswa baru apa emang nyasar?” Saya melirik arloji, belum pukul 7 teng. Maka saya pun putuskan untuk mencari space untuk bisa menarik napas dan menenangkan diri sejenak. Dan tepat pukul 7 saya pun memulai lembar hidup baru, jreng jreng…. Hahaha. Kisah saya dalam kelas tidak perlu saya ceritakan secara detail karena tentunya itu sangat memalukan! Of course, I’m so nervous! Pertama saya masuk pasti orang bertanya-tanya, sapa tu anak? Tapi ketika saya menuju ke meja dosen, menaruh tas disana, dan memasangkan laptop saya pada kabel LCD, barulah para mahasiswa berdesas-desus oh asdos toh… Yaa begitulah, mungkin kelas pertama pada menit-menit pertama sangat menyebalkan, berbicara dengan kaku, tidak nyaman, dan sebagainya. Tapi ketika kita sudah bisa beradaptasi dengan keadaan, semuanya terasa menyenangkan! Saya bisa berbicara apapun dengan lancar, spontan, dan mengalir apa adanya. Dan ya…akhirnya saya bisa mengatakan saya puas dengan pertemuan pertama saya, hingga menuju kelas-kelas selanjutnya pun saya tidak sabar untuk menunggu. Saya memang diamanahi untuk menjadi asisten di tiga kelas dengan fakultas yang sama. Jujur, saya merasa agak waswas dengan tiga kelas tersebut.Masalahnya, ketiga kelas tersebut merupakan jurusan pendidikan bahasa! Oke oke, saya buka kartu. Kelas pertama tadi adalah pendidikan bahasa nasional negara kita, paham laahh…. Asumsi saya, mereka itu pasti kritis masalah penggunaan bahasa yang baik dan benar. Sementara saya jarang terlatih menggunakan bahasa yang baik dan benar, seringnya pakai bahasa gaul campuran, ga jelas bahasa apa. Oleh karena itu, saya agak kaku dan gagu di menit-menit awal kelas tadi karena tekanan harus menggunakan bahasa yang baku tea, tapi setelah dipikir-pikir toh mereka itu baru tingkat pertama, baru masuk kuliah, dan baru lulus SMA, jadi gausah yang baku-baku teuing juga gapapa keleess…. Oke, kelas kedua adalah kelas bahasa daerah asal saya, ya udah bisa nebak lah ya jurusan apa…. Emang sih kelas ini adalah kelas yang saya bayangkan paling mudah saya hadapi dibanding dua kelas yang lain karena biasanya anak-anak jurusan ini terkenal ramah dan humoris, memang orang-orang daerah kami terkenalnya begitu. Tapi saya terbebani juga, masalahnya saya belum lancar menggunakan bahasa daerah saya sendiri, hihihi. Dalam bahasa daerah kami, ada beberapa jenis penggunaan bahasa yang dibedakan berdasarkan kepada siapa kita berbicara dan dimana kita menggunakan pembicaraan tersebut. Dan saya akui itu sulit untuk saya. Masalahnya, saya sedari kecil diajari bahasa nasional di rumah. Saya baru mengenal bahasa daerah di bangku sekolah dan itupun bahasa pergaulan yang agak kasar, jadi saya suka takut menggunakan bahasa lemes daerah saya yang biasanya digunakan dalam acara formal dan kepada orang yang kita hormati. So, saya jelaskan saja kepada mahasiswa saya jurusan tersebut di awal perkuliahan bahwa saya memang kurang lancar menggunakan bahasa daerah, aduh malu-maluin yah, hehehe. Saya akui itu salah satu kekurangan saya sebagai pendidik karena seharusnya pendidik itu memberikan contoh yang baik bagi peserta didik, saya malah kebalikannya. Lanjut ke kelas yang ketiga. Naah ini nih kelas yang bikin saya gabisa tidur karena kepikiran terus. Saya kan baru banget jadi asdos, kok udah dikasih kelas kaya gini, ckckck. Emang kelas kaya gimana sih yang saya maksud? Well, kelas sebuah jurusan dimana mahasiswanya tuh pas denger nama jurusannya aja kita udah ngebayangin mereka tuh kuat-kuat agamanya tapi masih di fakultas bahasa, yaa paham kali yaa…. Ini problematik banget buat saya. Masalahnya, mata kuliah yang saya asisteni ini adalah ilmu sosial aplikatif yang rentan dikritisi, apalagi kalau sudah dihubungkan dengan agama. Terus mereka juga biasanya lulusan sekolah-sekolah bagus yang rata-rata alumninya pada jago berkomunikasi dan mengemukakan pendapat. Kebayang banget lah mereka bakal kritis kaya apa, sementara saya cuma anak kecil culang-cileung yang kebetulan aja terpanggil jadi asdos.
Pada kenyataannya, perkiraan saya tidak jauh beda, kelas pertama memang banyak yang pintar dan humoris, kelas kedua sopan dan ramah, dan kelas ketiga kritis dan cerdas. Hanya saja yang berbeda adalah, mereka jauh jauh jauh jauuuuhhh lebih menyenangkan daripada yang saya duga :)

35 komentar:

  1. aaaaa termotivasi ingin jadi asdos...

    BalasHapus
  2. mrip sama pengalamanku jga, mba jrusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. waahh.. saya jur PGSD mba, tp pernah jadi asdos di jur Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia

      Hapus
  3. Bermanfaat sekali tulisannya.. sangat membantu.. terima kasih
    cara menjadi dosen

    BalasHapus
  4. Dari awal masuk kuliah pengen jadi asdos tpi sampe skarng blm kesampean.😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga bisa kesampaian yaa.. semangaatt :)

      Hapus
  5. Kalo jadi dosen itu apa harus yg prodinya 'pendidikan' kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak harus.. nonpendidikan juga bisa kalau untuk menjadi dosen

      Hapus
  6. Kalo jadi dosen itu apa harus yg prodinya 'pendidikan' kak?

    BalasHapus
  7. Waah, sama seperti yg saya alami. sangking nerveusnya. banyak codingan yang tidak teliti dan salah tulis....

    BalasHapus
  8. minimal ipk yg hrus dicapai untuk mnjadi asdos brp kakak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau bisa cumlaude (di atas 3,5), tapi yang penting di atas 3..

      Hapus
  9. Kak saya masih sma, pengen jadi asdos, tapi ada yang bilang kalau jadi asdos lulusnya lama, benar gak kk ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Engga kok.. Justru jadi asdos itu memotivasi kita biar lulus lebih cepat, karena seorang asdos dituntut untuk menjadi contoh panutan. ditambah lagi, kita bisa dapat banyak ilmu dari dosen yang kita asisteni untuk membantu menyelesaikan. skripsi. jadi tenang aja ya..

      Hapus
  10. Teh, saya mau curhat dikit dan nanya dan minta tips.
    Saya mahasiswa semester 2 di STIE Inaba, semester lalu saya nanya sama wali dosen tentang asdos dan dia jawab minimal harus s2. Awalnya udah menggebu gebu banget karena seperti punya goal yang harus dudapet selain ipk bagus, beasiswa, aktif UKM dan lainnya.. setelah saya denger info itu saya jadi kaya putus semangat buat jadi asdos tapi masih ada nyelip sedikit hasrat buat jadi asdos. Nah hari ini saya ngobrol sama temen saya yang 1 semester lebih tinggi diatas saya, ipk dia 4.00 dan salah satu dosen favourite disana minta dia jadi asdos, dia konsul ke saya "terima atau jangan"? Takut ngecewain katanya. Nah saya bingung, bukanya katanya minimal s2 ya.. disisi lain saya juga seneng berati masih ada kesempatan buat jadi asdos disana. Nah curhatnya beres, pertanyaannya.. teteh punya tips ga, biar kita bisa jadi asdos.. tips nya yang real aja teh bukan yang teori biar gampang diaplikasiin.. sekian terimakasij

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga ada kesempatan ya jadi asdos..
      mungkin beberapa tipsnya kaya aktif di kelas (bertanya atau menanggapi) agar kita dikenal dosen, memberikan usaha yang terbaik saat ujian biar dapat nilai terbaik..
      semangat yaa.. pokoknya sabar selalu, pantang menyerah..

      Hapus
  11. Ahhhhh suka blognya kak jadi kemotivasi...
    Kuliah di upi ya ka? Aku juga dulu pernah nyoba pgsd tapi keterimanya pgpaud 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih :) iya kuliah di upi.. waah masih satu keluarga pedagogik ya, pgpaud :)

      Hapus
  12. Kak kalau jadi asdos itu bisa nya dari semester berapa ya?
    Sebelumnya terima kasih kak berkat blog kakak ini saya jadi termotivasi untuk kuliah sebaik-baiknya dan bissmillah semoga bisa menjadi asdos:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya dari semester 3 (tingkat 2) udah bisa bantu mengajar adik-adik tingkatnya. Alhamdulillah, semangat yaa semoga sukses :)

      Hapus
  13. Tips ngilangin gugup waktu pertama kali kelas dong kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Persiapan yang matang, baca bismillah, tarik napas dalam-dalam, mencoba rileks dan enjoy dengan keadaan hehehe, lemaskan otot dan lakukan gerakan badan yang membuat kita santai dan tidak kaku

      Hapus
  14. Kak ada email yang bisa dihubungi kah? Makasih

    BalasHapus
  15. Kak mo tanya kalo boleh tau gaji asdos berapa si kak? Bener2 ingin tahu kak, cari di internet ga ada kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau asdos kan belum jadi PNS ya Kak, mirip honorer gitu, jadi gajinya tergantung kebijakan Universitas/Fakultas, Kak.

      Hapus