Canggung.
Sebuah judul cerpen yang terdapat di majalah Horison dari Perpustakaan SMA
beberapa tahun yang lalu. Aku selalu ingat cerpen itu, dan ceritanya.
Mengisahkan tentang pergolakan batin seorang anak yang beranjak remaja ketika
kedua orangtuanya mengajaknya tinggal bersama kembali. Anak itu memang tinggal
bersama neneknya sejak kecil. Dan ketika orangtuanya mengajak untuk tinggal
bersama, anak itu merasa canggung. Canggung karena ia tinggal bersama neneknya
sangat lama, dan untuk tinggal bersama kedua orangtuanya akan sangat sulit,
sulit karena canggung. Salah satu bagian cerita itu yang sangat kuingat adalah
ketika si anak sedang menimba air di sumur, lalu sang nenek memanggilnya ke
ruang tamu, dan ketika melihat siapa tamu yang datang saja si anak sudah merasa
canggung. Begitulah kira-kira. Sederhana namun sangat menyentuh, bagiku
terutama.
Ya.
Cerpen ini sangat menyentuh karena memang mirip dengan cerita kehidupan
nyataku. Aku pun begitu. Aku sangat lama tinggal bersama nenek. Tidur di kasur
empuk nyaman dengan selimut tebal hangat di samping nenek setiap malam. Padahal,
awalnya aku canggung jika tidur dengan nenek, yang ada malah insomnia. Aku
tidur dengan mama sejak kecil sampai umur 8 tahunan. Karena pada usia itulah
mama, ayah, dan adikku membeli rumah dan tidak tinggal dengan nenek. Berhubung
sekolahku dekat dengan rumah nenek, aku tetap bersama nenek, bibi, paman, dan
sepupuku. Awalnya sulit. Sangat sulit bagi anak kecil sepertiku. Jika aku dibully di sekolah, aku mengadu pada
siapa. Jika ada masalah tentang pelajaran, aku bertanya pada siapa. Aku butuh
kedua orang tuaku.
Setiap
sore, setelah pulang kantor, ayah mampir ke rumah nenek. Tujuannya ya untuk sekedar
istirahat sejenak, ikut makan, salat, dan menandatangani PR-PR ku. Saat SD
dulu, setiap PR harus dibubuhi tandatangan orangtua agar guru dapat memantau
bahwa pekerjaan rumah memang dikerjakan siswa di rumah. Aku selalu meminta ayah
menandatanganinya. Tapi, itu bukanlah hal yang penting. Justru aku membenci
rutinitas itu. Mengapa? Karena setiap ayah menandatangani PR, itu artinya
beberapa saat lagi ayah akan pulang ke rumahnya. Aku memang sengaja
mengakhirkan kegiatan itu. Dan saat-saat yang paling tidak dinantikan pun tiba –
melihat ayah pergi dengan motornya di depan rumah sampai benar-benar tidak terlihat di tikungan sambil
berteriak dadah dadaaaaah (kebetulan
saat itu sedang musim serial Teletubbies, jadi gayanya mirip Thinky Winky and
the gank menutup acara gituuu....). Itu adalah momen sedih yang harus kualami
setiap hari. Mungkin rutinitas itu terjadi kira-kira pukul 5 sore atau
menjelang magrib setiap harinya. Sampai magrib, aku masih sedih, sedih
mendalam. Namun pada malam harinya, aku biasa kembali.
Waktu
bergerak, SD, SMP. Saat SMP, aku masih merasakan hal yang sama, kesedihan
mendalam setiap senja menjelang. Namun sudah agak berkurang. Alasannya bukan
karena aku sudah remaja, jadi bisa dewasa dan lebih tegar. Alasannya lebih
kepada, aku mengerti bahwa ayahku sudah mengalami banyak kemajuan dalam karirnya,
jadi ia sibuk. Ayah sudah membeli mobil dan gaya hidupnya jadi sedikit agak
mewah. Aku mendapat pelajaran baru dalam kehidupan. Pelajaran tentang materi.
Materialistis. Pemikiranku saat itu kira-kira begini, “Alhamdulillah ayah sudah sukses, jadi tidak perlu sedih jika tidak
tinggal dengan mereka, toh kita sudah sama-sama bahagia.” Bahagia karena harta.
Waktu
kembali bergerak, SMP, SMA. Saat SMA, aku semakin parah, kacau. Perkembanganku
ke arah kedewasaan sepertinya mengalami konsleting
sedikit. Aku dipengaruhi pemikiran-pemikiran aneh yang datangnya dari diri
sendiri. Pemikiran tersebut adalah simpulan dari perasaan-perasaan yang kudapat
sejak kecil. Perasaan dianaktirikan, perasaan kurang kasih sayang, perasaan materialistik,
perasaan imajiner akhirnya menghasilkan pemikiran irrasional yang hanya dianut
olehku sendiri. Aku jauh dari orangtua dan merasa sangat dekat dengan nenekku.
Sehingga segala sesuatu berotientasi pada nenek (grandmotheroriented-red). Aku juga semakin brutal dalam mengejar
kesuksesan, sehingga banyak melupakan hal-hal semacam kasih sayang dan
ketenangan jiwa. Aku sudah bisa fight dan bosan dengan kesedihan. Tidak ada
lagi bully, dimarahi guru, atau pelajaran
sulit. Aku cuek. Yang kukejar saat itu adalah remaja sukses duniawi. Aku
berbuat semauku dan menurutku semua pemikiranku benar, tanpa mempertimbangkan
banyak hal. Aku pun merasa bahwa apabila banyak yang salah dengan perliakuku,
itu semua karena pola asuh yang kuterima selama ini. Aku merasa hidup
masing-masing. Ada jembatan panjang antara rumah ayah dan rumah nenek. Ayah dan
mama fokus dengan kehidupan rumah tangga dan karirnya, aku dan nenek pun begitu
Hingga
aku menemukan sebuah cerpen di majalah favoritku, Horison. Canggung. Pada
awalnya, aku tidak menyangka jalan ceritanya akan sangat berkesan. Hingga aku
baca dan merasa takjub sendiri. Ini
cerpen gue banget! Cerpen itu pulalah yang menegur hatiku bahwa
sesungguhnya aku telah kehilangan kendali. Dehidrasi akan sebuah keharmonisan.
Seharusnya aku menyelamatkan diriku sendiri. Aku sendiri merasa canggung,
sangat canggung dengan orang tua saat SMA.
Kuliah
pun tiba. Hidup mandiri sebagai anak kost yang jauh dari orang tua memang bukan
hal yang mudah bagi kebanyakan remaja. Namun bagiku biasa saja. Sangat biasa
dan sangat mudah apabila dibandingkan dengan sulitnya menghadapi rutinitas
menyebalkan menjadi Thinky Winky atau Dipsy setiap menjelang senja. Sebagian
temanku banyak yang homesick, beberapa diantaranya menangis galau di kost
masing-masing. Mereka sangat menanti yang namanya libur panjang agar bisa pulang
ke rumah dan bertemu sanak keluarga. Aku justru sangat betah di tempat kost
karena banyak hal baru yang kutemukan di kota besar ini. Sebagian dari mereka
bertanya, “Kok kamu aneh. Memang ngga kangen rumah?” Aku menjawab, “Aku kan
emang ngga tinggal sama mama dari kecil. Aku udah kenyang sedih waktu kecil.
Jadi sekarang biasa aja.” Aku juga mahasiswa baru yang paling jarang
berkomunikasi dengan mama, kalau teman-temanku hampir setiap hari menelepon
ataupun ditelepon ibunya. Kalau aku, paling dua minggu sekali, itu pun isinya: “Uang
masih ada Teh?”
Yah
begitulah secuil kisahku tentang “Canggung” dari SD sampai kuliah. Sepertinya
bukan aku saja, melainkan masih banyak kawan-kawan sesama canggungers yang lain. Yang terpenting bagiku sekarang adalah, aku
sedang berusaha tidak canggung lagi dengan cara mencoba sedikit curhat pada
mama. Aku mulai sedikit terbuka. Mulai meminta restu kedua orang tua apabila
ada rencana (jarang banget gue kaya gini, paraahh).
Semoga
Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Amiiin....
I miss you Mom ‘n Dad J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar