Minggu, 17 Maret 2013

Canggung


Canggung. Sebuah judul cerpen yang terdapat di majalah Horison dari Perpustakaan SMA beberapa tahun yang lalu. Aku selalu ingat cerpen itu, dan ceritanya. Mengisahkan tentang pergolakan batin seorang anak yang beranjak remaja ketika kedua orangtuanya mengajaknya tinggal bersama kembali. Anak itu memang tinggal bersama neneknya sejak kecil. Dan ketika orangtuanya mengajak untuk tinggal bersama, anak itu merasa canggung. Canggung karena ia tinggal bersama neneknya sangat lama, dan untuk tinggal bersama kedua orangtuanya akan sangat sulit, sulit karena canggung. Salah satu bagian cerita itu yang sangat kuingat adalah ketika si anak sedang menimba air di sumur, lalu sang nenek memanggilnya ke ruang tamu, dan ketika melihat siapa tamu yang datang saja si anak sudah merasa canggung. Begitulah kira-kira. Sederhana namun sangat menyentuh, bagiku terutama.
Ya. Cerpen ini sangat menyentuh karena memang mirip dengan cerita kehidupan nyataku. Aku pun begitu. Aku sangat lama tinggal bersama nenek. Tidur di kasur empuk nyaman dengan selimut tebal hangat di samping nenek setiap malam. Padahal, awalnya aku canggung jika tidur dengan nenek, yang ada malah insomnia. Aku tidur dengan mama sejak kecil sampai umur 8 tahunan. Karena pada usia itulah mama, ayah, dan adikku membeli rumah dan tidak tinggal dengan nenek. Berhubung sekolahku dekat dengan rumah nenek, aku tetap bersama nenek, bibi, paman, dan sepupuku. Awalnya sulit. Sangat sulit bagi anak kecil sepertiku. Jika aku dibully di sekolah, aku mengadu pada siapa. Jika ada masalah tentang pelajaran, aku bertanya pada siapa. Aku butuh kedua orang tuaku.
Setiap sore, setelah pulang kantor, ayah mampir ke rumah nenek. Tujuannya ya untuk sekedar istirahat sejenak, ikut makan, salat, dan menandatangani PR-PR ku. Saat SD dulu, setiap PR harus dibubuhi tandatangan orangtua agar guru dapat memantau bahwa pekerjaan rumah memang dikerjakan siswa di rumah. Aku selalu meminta ayah menandatanganinya. Tapi, itu bukanlah hal yang penting. Justru aku membenci rutinitas itu. Mengapa? Karena setiap ayah menandatangani PR, itu artinya beberapa saat lagi ayah akan pulang ke rumahnya. Aku memang sengaja mengakhirkan kegiatan itu. Dan saat-saat yang paling tidak dinantikan pun tiba – melihat ayah pergi dengan motornya di depan rumah  sampai benar-benar tidak terlihat di tikungan sambil berteriak dadah dadaaaaah (kebetulan saat itu sedang musim serial Teletubbies, jadi gayanya mirip Thinky Winky and the gank menutup acara gituuu....). Itu adalah momen sedih yang harus kualami setiap hari. Mungkin rutinitas itu terjadi kira-kira pukul 5 sore atau menjelang magrib setiap harinya. Sampai magrib, aku masih sedih, sedih mendalam. Namun pada malam harinya, aku biasa kembali.
Waktu bergerak, SD, SMP. Saat SMP, aku masih merasakan hal yang sama, kesedihan mendalam setiap senja menjelang. Namun sudah agak berkurang. Alasannya bukan karena aku sudah remaja, jadi bisa dewasa dan lebih tegar. Alasannya lebih kepada, aku mengerti bahwa ayahku sudah mengalami banyak kemajuan dalam karirnya, jadi ia sibuk. Ayah sudah membeli mobil dan gaya hidupnya jadi sedikit agak mewah. Aku mendapat pelajaran baru dalam kehidupan. Pelajaran tentang materi. Materialistis. Pemikiranku saat itu kira-kira begini, “Alhamdulillah ayah sudah sukses, jadi tidak perlu sedih jika tidak tinggal dengan mereka, toh kita sudah sama-sama bahagia.” Bahagia karena harta.
Waktu kembali bergerak, SMP, SMA. Saat SMA, aku semakin parah, kacau. Perkembanganku ke arah kedewasaan sepertinya mengalami konsleting sedikit. Aku dipengaruhi pemikiran-pemikiran aneh yang datangnya dari diri sendiri. Pemikiran tersebut adalah simpulan dari perasaan-perasaan yang kudapat sejak kecil. Perasaan dianaktirikan, perasaan kurang kasih sayang, perasaan materialistik, perasaan imajiner akhirnya menghasilkan pemikiran irrasional yang hanya dianut olehku sendiri. Aku jauh dari orangtua dan merasa sangat dekat dengan nenekku. Sehingga segala sesuatu berotientasi pada nenek (grandmotheroriented-red). Aku juga semakin brutal dalam mengejar kesuksesan, sehingga banyak melupakan hal-hal semacam kasih sayang dan ketenangan jiwa. Aku sudah bisa fight dan bosan dengan kesedihan. Tidak ada lagi bully, dimarahi guru, atau pelajaran sulit. Aku cuek. Yang kukejar saat itu adalah remaja sukses duniawi. Aku berbuat semauku dan menurutku semua pemikiranku benar, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Aku pun merasa bahwa apabila banyak yang salah dengan perliakuku, itu semua karena pola asuh yang kuterima selama ini. Aku merasa hidup masing-masing. Ada jembatan panjang antara rumah ayah dan rumah nenek. Ayah dan mama fokus dengan kehidupan rumah tangga dan karirnya, aku dan nenek pun begitu
Hingga aku menemukan sebuah cerpen di majalah favoritku, Horison. Canggung. Pada awalnya, aku tidak menyangka jalan ceritanya akan sangat berkesan. Hingga aku baca dan merasa takjub sendiri. Ini cerpen gue banget! Cerpen itu pulalah yang menegur hatiku bahwa sesungguhnya aku telah kehilangan kendali. Dehidrasi akan sebuah keharmonisan. Seharusnya aku menyelamatkan diriku sendiri. Aku sendiri merasa canggung, sangat canggung dengan orang tua saat SMA.
Kuliah pun tiba. Hidup mandiri sebagai anak kost yang jauh dari orang tua memang bukan hal yang mudah bagi kebanyakan remaja. Namun bagiku biasa saja. Sangat biasa dan sangat mudah apabila dibandingkan dengan sulitnya menghadapi rutinitas menyebalkan menjadi Thinky Winky atau Dipsy setiap menjelang senja. Sebagian temanku banyak yang homesick, beberapa diantaranya menangis galau di kost masing-masing. Mereka sangat menanti yang namanya libur panjang agar bisa pulang ke rumah dan bertemu sanak keluarga. Aku justru sangat betah di tempat kost karena banyak hal baru yang kutemukan di kota besar ini. Sebagian dari mereka bertanya, “Kok kamu aneh. Memang ngga kangen rumah?” Aku menjawab, “Aku kan emang ngga tinggal sama mama dari kecil. Aku udah kenyang sedih waktu kecil. Jadi sekarang biasa aja.” Aku juga mahasiswa baru yang paling jarang berkomunikasi dengan mama, kalau teman-temanku hampir setiap hari menelepon ataupun ditelepon ibunya. Kalau aku, paling dua minggu sekali, itu pun isinya: “Uang masih ada Teh?”
Yah begitulah secuil kisahku tentang “Canggung” dari SD sampai kuliah. Sepertinya bukan aku saja, melainkan masih banyak kawan-kawan sesama canggungers yang lain. Yang terpenting bagiku sekarang adalah, aku sedang berusaha tidak canggung lagi dengan cara mencoba sedikit curhat pada mama. Aku mulai sedikit terbuka. Mulai meminta restu kedua orang tua apabila ada rencana (jarang banget gue kaya gini, paraahh).
Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Amiiin....

I miss you Mom ‘n Dad J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar