Aku
harus mencari logistik untuk keperluan out
bond besok. Waktu sangat mendesak. Aku merasa sangat kerepotan. Panitia
yang lain pun sama sibuknya. Aku butuh bantuan seseorang. Mungkin Dendon dapat
aku andalkan. Namun aku tahu Dendon pun sudah pusing dengan kesibukannya
sendiri. Teman-temanku sangat baik dan selalu siap untuk membantuku, namun aku
merasa tidak enak bila harus merepotkan mereka untuk yang ke-sekian kalinya.
Aku mendapat panggilan “Miss Riweuh” karena selalu mengambil pusing sesuatu
yang sebenarnya kecil, sehingga membuatku jadi repot sendiri. Aku selalu
berlagak sok jagoan, padahal sebenarnya aku belum memiliki kemampuan apa-apa,
apalagi dalam organisasi.
Saat
itu waktu menunjukkan hampir pukul 20.00, aku berjalan cepat di atas trotoar
pinggir jalan Setiabudhi. Aku mencari sesuatu yang sebenarnya aku sendiri tidak
tahu apa yang harus aku cari. Berada di tengah kota Bandung malam Minggu begini
dimana jalanan sangat macet sementara aku merasa menjadi anak hilang. Orang-orang
kalangan atas kota tengah merayakan weekend
bersama keluarganya. Aku menengok sedikit ke mobil kinclong di sampingku yang
diam di tengah kemacetan. Aku dapat melihat ayah dengan air muka jengkel duduk
di belakang stir, sementara sang ibu yang berada di sampingnya tengah berkaca
sambil memoleskan lipstik di atas bibir merahnya, dua orang anak laki-laki
kembar usia 10 tahun-an bersenda gurau di jok belakang, dan sang adik yang
masih balita tertidur lelap di samping kedua kakaknya. Ah, hampir mirip keluargaku. Andai aku dapat menikmati kota besar
ini bersama mereka di saat yang sangat santai, dimana kami tak punya beban
apa-apa.
Aku
telah melewati beberapa tempat nongkong anak muda yang tempat parkirnya saja
sudah penuh, aku mendengar live music
dari dalamnya. Ah, betapa bahagianya mereka. Andai aku dapat disana bersama
Dendon. Di saat aku tak punya agenda kepanitiaan, dan Dendon sedang tak ada
proyek. Ah tapi tak mungkin juga, mana bisa anak kost-an melarat seperti kami
masuk ke tempat seperti ini. Hihihi,
aku tertawa kecil spontan. Tapi mengingat-ingat Dendon membuatku jengkel juga.
Aku memiliki pacar yang seharusnya dapat diandalkan kapan pun. Aku punya pacar
tapi seperti tak punya saja, aku menjalani semuanya sendiri. Memang aku sendiri
yang sok jagoan apabila sedang sibuk dan Dendon mencoba membantuku. Aku selalu
mencoba terlihat kuat di depan Dendon. Aku sendiri yang mengusulkan agar
hubungan kita ini jangan sampai membuat kita masing-masing menjadi lemah,
justru harus membuat diri kita masing-masing semakin mandiri dan kuat, oleh
karena itu pacar jangan dijadikan asisten dalam mengerjakan tugas pribadi.
Dendon pun menyepakati usulan tersebut walaupun terlihat dengan sangat berat
hati. Pacar hanya menjadi motivator dalam pekerjaan pribadi. Hal ini didasari
karena aku kurang suka melihat orang lain yang memanfaatkan pacar sebagai
semacam pesuruh, tukang ojeg, dan sebagainya. Mereka yang rata-rata berada pada
posisi si cewek, terlihat sangat manja, lemah, dan leha-leha. Aku sadar,
usulanku tersebut terlalu berlebihan. Sekarang aku merasakan sendiri akibatnya,
saat aku membutuhkan bantuannya sementara dia sendiri sedang kerepotan. Ah sudahlah, seharusnya aku bersyukur memiliki
pacar yang sangat sibuk. Memang seharunya laki-laki memiliki kesibukan lebih
dari perempuan.
Aku
memang sangat bangga memiliki Dendon. Rupanya tidak terlalu tampan untuk
dibanggakan. Namun yang membuatku bangga adalah dia pandai bersosialisasi dan
memiliki jiwa humor yang tinggi. Dia lumayan terkenal di kampus dan disukai
banyak orang. Kalau dia terkenal karena memang pandai bergaul, aku terkenal
karena aktif berorganisasi. Kami sepakat untuk sama-sama sukses dengan potensi
yang kami miliki masing-masing. Hubungan kami memang sangat berbeda dengan
hubungan pacaran orang lain pada umumnya. Kami tak terlihat seperti pasangan
kekasih pada umumnya, terkadang kami terlihat seperti rekan bisnis biasa
ataupun terkadang seperti saudara kembar yang selalu bertengkar. Orang lain
yang melihat kami sedang bersama pasti tertawa melihat ulah kami. Jika kami
bertemu, kami sekedar hanya membicarakan hal-hal yang sangat tidak penting
untuk bahan tertawaan. Banyak orang yang mengatakan Dendon beruntung memiliki
pacar yang smart, dan aku ini beruntung memiliki orang seperti Dendon yang
sangat baik hati, lucu, dan setia. Kadang aku mendengar cerita orang lain yang
punya banyak masalah dengan pacarnya. Rata-rata masalah mereka adalah memergoki
sang pacar sedang berselingkuh, ada pula yang memiliki pacar yang tidak dapat
menerima pasangan apa adanya. Namun orang-orang tersebut menghiburku dengan
mengatakan mereka percaya Dendon yang sangat baik dan lucu tidak mungkin
melakukan hal seperti yang mereka alami.
Cukup
membuat sakit hati pula bila mengingat-ingat Dendon. Akhirnya aku mengalihkan
pikiranku pada tanggung jawabku sebagai panitia out bond besok. Terlintas dalam pikiranku, apa yang sebenarnya aku
cari? Aku mencoba mengingat-ingat tapi sangat sulit ternyata bagiku untuk
berkonsentrasi. Aku pun menghentikan langkah cepatku, aku menggeser posisiku ke
pinggir dan menarik ranselku ke depan. Aku mulai membuka risletingnya, dan
mengambil note-ku. Aku telah mencatat
semua keperluan logistik dan aku menandai logistik yang telah ada. Aku mulai
meneliti dengan cermat, apa-apa saja yang telah kutandai. Akh, ternyata semua
telah kutandai. Artinya semua keperluan logistik telah ada! Aduh, kenapa aku ini? Aku mulai
memeriksa semua isi ranselku. Tali sudah, kertas sudah, gunting sudah, balon
sudah, spidol sudah, karet sudah, botol sudah, karung sudah, keperluan P3K juga
sudah,.... Akh, sudah semua! Dasar,
mengapa aku bisa lupa? Mengapa pula kedua kakiku tiba-tiba membawaku ke pinggir
jalanan Setiabudhi malam Minggu begini? Apa aku terlalu banyak melamun sehingga
mudah terbawa kemana pun kaki ingin melangkah? Tiba-tiba aku ingat, bahwa
memang aku sudah merencanakan pergi ke sebuah Supermarket di jalan Setiabudhi
untuk membeli keperluan P3K, namun tadi sore selepas gladi resik, Ketua
Pelaksana memberiku keperluan P3K. Mungkin tadi sore itu aku sedang melamun
sehingga tidak sadar bahwa keperluan P3K telah ada di tanganku. Hahahaha....
Aku tertawa lepas. Orang macam apa aku ini? Aku menertawakan kebodohanku
sendiri sekaligus merayakan kebebasanku karena semua keperluan logistik telah
terpenuhi. Aku tinggal pulang dan istirahat, menjaga kondisi fisikku agar tetap
fit karena besok pukul 6 panitia harus briefing. Namun lelah dan stres berat
yang melandaku telah menahanku pulang, aku rasa tidak ada salahnya menikmati
sendiri malam Minggu di tengah kota. Aku duduk di atas tembok kecil di pinggir
trotoar. Aku meluruskan kedua kakiku dan merasakan betapa pegalnya otot
betisku, aku melepaskan ranselku dan merasakan pula betapa pegalnya kedua
pundakku. Aku memperhatikan semua mobil-mobil mewah yang merayap di tengah
kemacetan. Betapa iri aku pada keluarga-keluarga yang tengah berkumpul di
dalamnya. Aku rindu keluargaku, andai di antara mobil-mobil ini ada mobil
kijang hijau jadul berhenti di depanku, dan dari dalamnya keluar orang tua,
adik, dan nenekku, lalu mengajakku masuk dan pergi dari sini. Hahahaha,
khayalan tingkat tinggi. Aku pun menengok ke arah sebuah tempat makan yang
merupakan tempat nongkrong anak muda Bandung apalagi di malam Minggu seperti
ini. Mereka rata-rata berpasangan, jarang yang dengan teman se-gank-nya.
Sepasangan muda-mudi keluar menuju tempat parkir. Si ‘Aa yang rambutnya berdiri karena minyak segera mengenakan helm-nya.
Si Teteh yang mengenakan kaus ketat
yang agak ngatung dan celana jeans ketat pun mengenakan helm, naik ke atas
motor, dan segera memeluk si ‘Aa
rapat ketika motor mulai bergerak meninggalkan tempat parkir. Haha, aku menertawakan mereka. Aku
bersyukur dan bangga menjadi diriku sendiri tanpa kaus dan jeans ketat, plus
pelukan mesra. Astaghfirullah al
adziiiim......
Saat
motor tersebut meninggalkan tempat parkir, sebuah motor memasuki tempat parkir.
Sama saja dengan yang tadi, si Teteh
berada dalam posisi memeluk si ‘Aa
erat dengan kepala yang bersandar di punggung si ‘Aa. Motor berhenti di tempat parkir. Namun mereka belum turun. Si ‘Aa terlihat mengelus-elus tangan si Teteh yang berada di atas perut si ‘Aa. Setelah beberapa lama, si Teteh mulai membuka helm-nya, ternyata
dia sedang menangis. Sepertinya mereka sedang ada masalah. Atau hanya si Teteh yang punya masalah dan si ‘Aa mencoba menghiburnya, pikirku. Si Teteh mulai turun. Aku memperhatikan dia
baik-baik, dia masih terisak dengan muka murung. Wajahnya yang cantik seperti
pernah aku lihat sebelumnya, mungkin dia sekampus denganku namun beda jurusan.
Si ‘Aa yang berbadan proporsional pun
turun, dia mengelus pundak si Teteh,
si Teteh menyandarkan kepalanya pada
bahu si ‘Aa. Si ‘Aa pun memeluk si Teteh
erat. Mereka berpelukan cukup lama, dengan tangis si Teteh yang semakin menjadi. Aku menertawakan mereka. Entah mengapa,
sejak kecil aku terbiasa menertawakan orang-orang yang bagiku melakukan
perbuatan kurang pantas, seperti tadi contohnya, berpelukan. Setelah beberapa
lama, mereka akhirnya melepaskan pelukan, tangis si Teteh sudah reda rupanya. Si ‘Aa
mulai melepaskan helm-nya. Aku mulai memperhatikan dia, mungkin si ‘Aa juga berasal dari kampus yang sama
denganku, mungkin aku kenal dengan mereka. Ternyata memang iya, si ‘Aa bukanlah orang yang asing bagiku,
aku mengenalnya dengan baik. Tapi akh, tidak mungkin dia.... Aku mencoba
memperhatikannya dengan cermat dan teliti, ternyata memang benar dia....
Badanku yang mulai pulih dari lelah dan pegal seketika lemas. Si ‘Aa yang datang dengan si Teteh barusan adalah Dendon!
Aku
lemas. Sudah habis seluruh tenagaku untuk menumpahkan segala isi hatiku. Maka
kutarik ranselku dan kugendong di belakang punggungku. Aku berjalan bagai tak
tahu arah. Celingak-celinguk seperti memperhatikan mobil-mobil yang semakin
menumpuk di tengah kemacetan padahal pikiranku entah kemana.
Sebuah
motor yang sedang asyik menyalip-nyalip mencari sedikit celah di pinggir tiba-tiba
berhenti di sampingku yang sedang berjalan lemas tak tahu arah di pinggir
jalan. Si pengendara mengelaksoniku lalu menaikkan kaca helmnya sedikit
sehingga aku dapat mengenalinya. Dia adalah Ridwan, rekan seperjuanganku di
himpunan. Dia juga ketua pelaksana acara out
bond besok. Gerakan kepalanya mengisyaratkan agar aku naik ke belakangnya.
Aku pun menuruti.
Di
jalan, sambil mencari celah di tengah kemacetan, Ridwan menanyaiku berbagai
macam pertanyaan. Namun pikiranku sedang melayang, aku tak dapat mencerna
setiap pertanyaan yang dia ajukan. Aku hanya diam membisu. Dia melepaskan
tangan kirinya dari pegangan. Tangan kirinya lalu ditarik ke belakang dan mencari-cari
tangan kiriku. Setelah tangan kiriku ia temukan, ia letakkan di atas perutnya.
Tanganku yang lemah ia elus dengan lembut. Aku tak dapat berkata-kata, yang
dapat kulakukan hanyalah meletakkan tangan kananku juga di atas perutnya dan
menyandarkan kepalaku pada punggungnya.
Semakin
malam, jalanan semakin macet. Aku sangat lelah hingga terlelap di tengah
kemacetan.
Paris Van Java, 20 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar