Sabtu, 26 Januari 2013

Sabtu Malam ketika Besok Akan Outbond, Sebuah Cerpen

Aku harus mencari logistik untuk keperluan out bond besok. Waktu sangat mendesak. Aku merasa sangat kerepotan. Panitia yang lain pun sama sibuknya. Aku butuh bantuan seseorang. Mungkin Dendon dapat aku andalkan. Namun aku tahu Dendon pun sudah pusing dengan kesibukannya sendiri. Teman-temanku sangat baik dan selalu siap untuk membantuku, namun aku merasa tidak enak bila harus merepotkan mereka untuk yang ke-sekian kalinya. Aku mendapat panggilan “Miss Riweuh” karena selalu mengambil pusing sesuatu yang sebenarnya kecil, sehingga membuatku jadi repot sendiri. Aku selalu berlagak sok jagoan, padahal sebenarnya aku belum memiliki kemampuan apa-apa, apalagi dalam organisasi.
            Saat itu waktu menunjukkan hampir pukul 20.00, aku berjalan cepat di atas trotoar pinggir jalan Setiabudhi. Aku mencari sesuatu yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku cari. Berada di tengah kota Bandung malam Minggu begini dimana jalanan sangat macet sementara aku merasa menjadi anak hilang. Orang-orang kalangan atas kota tengah merayakan weekend bersama keluarganya. Aku menengok sedikit ke mobil kinclong di sampingku yang diam di tengah kemacetan. Aku dapat melihat ayah dengan air muka jengkel duduk di belakang stir, sementara sang ibu yang berada di sampingnya tengah berkaca sambil memoleskan lipstik di atas bibir merahnya, dua orang anak laki-laki kembar usia 10 tahun-an bersenda gurau di jok belakang, dan sang adik yang masih balita tertidur lelap di samping kedua kakaknya. Ah, hampir mirip keluargaku. Andai aku dapat menikmati kota besar ini bersama mereka di saat yang sangat santai, dimana kami tak punya beban apa-apa.
Aku telah melewati beberapa tempat nongkong anak muda yang tempat parkirnya saja sudah penuh, aku mendengar live music dari dalamnya. Ah, betapa bahagianya mereka. Andai aku dapat disana bersama Dendon. Di saat aku tak punya agenda kepanitiaan, dan Dendon sedang tak ada proyek. Ah tapi tak mungkin juga, mana bisa anak kost-an melarat seperti kami masuk ke tempat seperti ini. Hihihi, aku tertawa kecil spontan. Tapi mengingat-ingat Dendon membuatku jengkel juga. Aku memiliki pacar yang seharusnya dapat diandalkan kapan pun. Aku punya pacar tapi seperti tak punya saja, aku menjalani semuanya sendiri. Memang aku sendiri yang sok jagoan apabila sedang sibuk dan Dendon mencoba membantuku. Aku selalu mencoba terlihat kuat di depan Dendon. Aku sendiri yang mengusulkan agar hubungan kita ini jangan sampai membuat kita masing-masing menjadi lemah, justru harus membuat diri kita masing-masing semakin mandiri dan kuat, oleh karena itu pacar jangan dijadikan asisten dalam mengerjakan tugas pribadi. Dendon pun menyepakati usulan tersebut walaupun terlihat dengan sangat berat hati. Pacar hanya menjadi motivator dalam pekerjaan pribadi. Hal ini didasari karena aku kurang suka melihat orang lain yang memanfaatkan pacar sebagai semacam pesuruh, tukang ojeg, dan sebagainya. Mereka yang rata-rata berada pada posisi si cewek, terlihat sangat manja, lemah, dan leha-leha. Aku sadar, usulanku tersebut terlalu berlebihan. Sekarang aku merasakan sendiri akibatnya, saat aku membutuhkan bantuannya sementara dia sendiri sedang kerepotan.  Ah sudahlah, seharusnya aku bersyukur memiliki pacar yang sangat sibuk. Memang seharunya laki-laki memiliki kesibukan lebih dari perempuan.
Aku memang sangat bangga memiliki Dendon. Rupanya tidak terlalu tampan untuk dibanggakan. Namun yang membuatku bangga adalah dia pandai bersosialisasi dan memiliki jiwa humor yang tinggi. Dia lumayan terkenal di kampus dan disukai banyak orang. Kalau dia terkenal karena memang pandai bergaul, aku terkenal karena aktif berorganisasi. Kami sepakat untuk sama-sama sukses dengan potensi yang kami miliki masing-masing. Hubungan kami memang sangat berbeda dengan hubungan pacaran orang lain pada umumnya. Kami tak terlihat seperti pasangan kekasih pada umumnya, terkadang kami terlihat seperti rekan bisnis biasa ataupun terkadang seperti saudara kembar yang selalu bertengkar. Orang lain yang melihat kami sedang bersama pasti tertawa melihat ulah kami. Jika kami bertemu, kami sekedar hanya membicarakan hal-hal yang sangat tidak penting untuk bahan tertawaan. Banyak orang yang mengatakan Dendon beruntung memiliki pacar yang smart, dan aku ini beruntung memiliki orang seperti Dendon yang sangat baik hati, lucu, dan setia. Kadang aku mendengar cerita orang lain yang punya banyak masalah dengan pacarnya. Rata-rata masalah mereka adalah memergoki sang pacar sedang berselingkuh, ada pula yang memiliki pacar yang tidak dapat menerima pasangan apa adanya. Namun orang-orang tersebut menghiburku dengan mengatakan mereka percaya Dendon yang sangat baik dan lucu tidak mungkin melakukan hal seperti yang mereka alami.
Cukup membuat sakit hati pula bila mengingat-ingat Dendon. Akhirnya aku mengalihkan pikiranku pada tanggung jawabku sebagai panitia out bond besok. Terlintas dalam pikiranku, apa yang sebenarnya aku cari? Aku mencoba mengingat-ingat tapi sangat sulit ternyata bagiku untuk berkonsentrasi. Aku pun menghentikan langkah cepatku, aku menggeser posisiku ke pinggir dan menarik ranselku ke depan. Aku mulai membuka risletingnya, dan mengambil note-ku. Aku telah mencatat semua keperluan logistik dan aku menandai logistik yang telah ada. Aku mulai meneliti dengan cermat, apa-apa saja yang telah kutandai. Akh, ternyata semua telah kutandai. Artinya semua keperluan logistik telah ada! Aduh, kenapa aku ini? Aku mulai memeriksa semua isi ranselku. Tali sudah, kertas sudah, gunting sudah, balon sudah, spidol sudah, karet sudah, botol sudah, karung sudah, keperluan P3K juga sudah,.... Akh, sudah semua! Dasar, mengapa aku bisa lupa? Mengapa pula kedua kakiku tiba-tiba membawaku ke pinggir jalanan Setiabudhi malam Minggu begini? Apa aku terlalu banyak melamun sehingga mudah terbawa kemana pun kaki ingin melangkah? Tiba-tiba aku ingat, bahwa memang aku sudah merencanakan pergi ke sebuah Supermarket di jalan Setiabudhi untuk membeli keperluan P3K, namun tadi sore selepas gladi resik, Ketua Pelaksana memberiku keperluan P3K. Mungkin tadi sore itu aku sedang melamun sehingga tidak sadar bahwa keperluan P3K telah ada di tanganku. Hahahaha.... Aku tertawa lepas. Orang macam apa aku ini? Aku menertawakan kebodohanku sendiri sekaligus merayakan kebebasanku karena semua keperluan logistik telah terpenuhi. Aku tinggal pulang dan istirahat, menjaga kondisi fisikku agar tetap fit karena besok pukul 6 panitia harus briefing. Namun lelah dan stres berat yang melandaku telah menahanku pulang, aku rasa tidak ada salahnya menikmati sendiri malam Minggu di tengah kota. Aku duduk di atas tembok kecil di pinggir trotoar. Aku meluruskan kedua kakiku dan merasakan betapa pegalnya otot betisku, aku melepaskan ranselku dan merasakan pula betapa pegalnya kedua pundakku. Aku memperhatikan semua mobil-mobil mewah yang merayap di tengah kemacetan. Betapa iri aku pada keluarga-keluarga yang tengah berkumpul di dalamnya. Aku rindu keluargaku, andai di antara mobil-mobil ini ada mobil kijang hijau jadul berhenti di depanku, dan dari dalamnya keluar orang tua, adik, dan nenekku, lalu mengajakku masuk dan pergi dari sini. Hahahaha, khayalan tingkat tinggi. Aku pun menengok ke arah sebuah tempat makan yang merupakan tempat nongkrong anak muda Bandung apalagi di malam Minggu seperti ini. Mereka rata-rata berpasangan, jarang yang dengan teman se-gank-nya. Sepasangan muda-mudi keluar menuju tempat parkir. Si ‘Aa yang rambutnya berdiri karena minyak segera mengenakan helm-nya. Si Teteh yang mengenakan kaus ketat yang agak ngatung dan celana jeans ketat pun mengenakan helm, naik ke atas motor, dan segera memeluk si ‘Aa rapat ketika motor mulai bergerak meninggalkan tempat parkir. Haha, aku menertawakan mereka. Aku bersyukur dan bangga menjadi diriku sendiri tanpa kaus dan jeans ketat, plus pelukan mesra. Astaghfirullah al adziiiim......
Saat motor tersebut meninggalkan tempat parkir, sebuah motor memasuki tempat parkir. Sama saja dengan yang tadi, si Teteh berada dalam posisi memeluk si ‘Aa erat dengan kepala yang bersandar di punggung si ‘Aa. Motor berhenti di tempat parkir. Namun mereka belum turun. Si ‘Aa terlihat mengelus-elus tangan si Teteh yang berada di atas perut si ‘Aa. Setelah beberapa lama, si Teteh mulai membuka helm-nya, ternyata dia sedang menangis. Sepertinya mereka sedang ada masalah. Atau hanya si Teteh yang punya masalah dan si ‘Aa mencoba menghiburnya, pikirku. Si Teteh mulai turun. Aku memperhatikan dia baik-baik, dia masih terisak dengan muka murung. Wajahnya yang cantik seperti pernah aku lihat sebelumnya, mungkin dia sekampus denganku namun beda jurusan. Si ‘Aa yang berbadan proporsional pun turun, dia mengelus pundak si Teteh, si Teteh menyandarkan kepalanya pada bahu si ‘Aa. Si ‘Aa pun memeluk si Teteh erat. Mereka berpelukan cukup lama, dengan tangis si Teteh yang semakin menjadi. Aku menertawakan mereka. Entah mengapa, sejak kecil aku terbiasa menertawakan orang-orang yang bagiku melakukan perbuatan kurang pantas, seperti tadi contohnya, berpelukan. Setelah beberapa lama, mereka akhirnya melepaskan pelukan, tangis si Teteh sudah reda rupanya. Si ‘Aa mulai melepaskan helm-nya. Aku mulai memperhatikan dia, mungkin si ‘Aa juga berasal dari kampus yang sama denganku, mungkin aku kenal dengan mereka. Ternyata memang iya, si ‘Aa bukanlah orang yang asing bagiku, aku mengenalnya dengan baik. Tapi akh, tidak mungkin dia.... Aku mencoba memperhatikannya dengan cermat dan teliti, ternyata memang benar dia.... Badanku yang mulai pulih dari lelah dan pegal seketika lemas. Si ‘Aa yang datang dengan si Teteh barusan adalah Dendon!
Aku lemas. Sudah habis seluruh tenagaku untuk menumpahkan segala isi hatiku. Maka kutarik ranselku dan kugendong di belakang punggungku. Aku berjalan bagai tak tahu arah. Celingak-celinguk seperti memperhatikan mobil-mobil yang semakin menumpuk di tengah kemacetan padahal pikiranku entah kemana.
Sebuah motor yang sedang asyik menyalip-nyalip mencari sedikit celah di pinggir tiba-tiba berhenti di sampingku yang sedang berjalan lemas tak tahu arah di pinggir jalan. Si pengendara mengelaksoniku lalu menaikkan kaca helmnya sedikit sehingga aku dapat mengenalinya. Dia adalah Ridwan, rekan seperjuanganku di himpunan. Dia juga ketua pelaksana acara out bond besok. Gerakan kepalanya mengisyaratkan agar aku naik ke belakangnya. Aku pun menuruti.
Di jalan, sambil mencari celah di tengah kemacetan, Ridwan menanyaiku berbagai macam pertanyaan. Namun pikiranku sedang melayang, aku tak dapat mencerna setiap pertanyaan yang dia ajukan. Aku hanya diam membisu. Dia melepaskan tangan kirinya dari pegangan. Tangan kirinya lalu ditarik ke belakang dan mencari-cari tangan kiriku. Setelah tangan kiriku ia temukan, ia letakkan di atas perutnya. Tanganku yang lemah ia elus dengan lembut. Aku tak dapat berkata-kata, yang dapat kulakukan hanyalah meletakkan tangan kananku juga di atas perutnya dan menyandarkan kepalaku pada punggungnya.
Semakin malam, jalanan semakin macet. Aku sangat lelah hingga terlelap di tengah kemacetan.

Paris Van Java, 20 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar