Hai Teman-teman, kali ini saya akan berbagi
pengalaman saya sebagai seorang asisten dosen atau yang biasa disingkat asdos.
Baik, sebenarnya sudah sejak lama saya ingin sekali menjadi asdos. Hal tersebut
dipengaruhi oleh pandangan saya terhadap para dosen atau akademisi bahwa mereka
memiliki status atau kedudukan sosial yang tinggi. Begitupun pula dengan
asisten dosen. Menurut saya, mereka memiliki status yang hampir sama dengan
dosen, karena mereka dapat menggantikan sang dosen mengajar, berdiskusi dengan
mahasiswa, dan tentunya tidak sembarang orang bisa menjadi asisten. Dulu ketika
SMA, bayangan saya terhadap dosen adalah para professor yang sudah kakek-kakek.
Begitu saya masuk kuliah, saya baru mengetahui ternyata dosen adalah manusia
biasa, berpenampilan biasa pula. Saya lebih aneh lagi dengan beberapa asisten
dosen yang masih muda, bahkan kakak tingkat kami yang hanya beberapa tahun
usianya di atas kami dapat mengajar dengan percaya diri. Sejak itulah saya
menyimpulkan bahwa dosen tidak harus professor kakek-kakek, tapi anak-anak muda
pun bisa menjadi seperti dosen dengan cara menjadi asisten dosen terlebih
dahulu. Saya pun sangat mengagumi kakak-kakak yang menjadi asisten dosen,
karena mereka masih muda namun begitu terampil mengajar dan memiliki
pengetahuan yang luas. Tentunya dalam pikiran saya, mereka bukan orang
sembarangan, mereka adalah orang-orang cerdas yang terpilih. Sejak saat itu
saya berhasrat untuk menjadi akademisi muda pula, berusaha belajar dengan sebaik-baiknya
dan aktif dalam perkuliahan agar suatu saat nanti saya pun akan bisa menjadi
seperti mereka. Waktu demi waktu pun berlalu, setiap perkuliahan saya berusaha
memberikan yang terbaik dan Alhamdulillah saya pun memperoleh hasil yang
memuaskan. Namun, saya belum pula mendapat tawaran menjadi asisten dosen. Saya
perhatikan, saat itu beberapa teman saya dapat sudah dapat dikatakan menjadi
seorang asisten dosen. Saya sempat membicarakan ini dengan teman-teman yang
lain, memang teman-teman yang menjadi asdos tersebut adalah para KM yang
tentunya sering berkomunikasi dengan dosen dan kami pun berkesimpulan bahwa
yang dapat menjadi asdos hanyalah para KM, atau orang yang dikenal dosen saja.
Saya juga merasa sudah berusaha aktif dalam diskusi setiap perkuliahan agar
dapat dikenal, namun mungkin itu tidak cukup untuk bisa ‘dikenal’ oleh dosen. Pernah
suatu saat ketika saya mampir ke fakultas lain, saya membaca selebaran yang berisi pengumuman penerimaan asisten
laboratorium. Disana tercantum beberapa poin persyaratan, diantaranya terdapat
persyaratan akademik berupa IPK. Tidak ada poin ‘harus dekat dengan dosen yang
bersangkutan’. Saya pun sempat mengetahui dari teman yang menjadi asdos di
UNDIP, bahwa dia mengikuti seleksi penerimaan asdos sebelum bisa menjadi asdos.
Saya pun menggerutu dalam hati karena jurusan saya berbeda dengan jurusan yang
lainnya, dimana tidak sembarang orang bisa menjadi asdos. Hanya orang-orang
terpilih sajalah dalam artian mampu secara akademik yang bisa menjadi asdos.
Kalau sistem penerimaan asdos di jurusan saya seperti itu, saya yakin
seyakin-yakinnya saya bisa berusaha belajar maksimal untuk tes penerimaan dan
saya berpeluang untuk menjadi asdos di usia muda. Akhirnya saya hanya bisa
mengubur dalam-dalam impian saya untuk menjadi asdos, karena saya mengakui
bahwa walaupun saya bisa berusaha meningkatkan pengetahuan dan pemahaman saya
terhadap materi perkuliahan, namun saya memiliki kemampuan sosialisasi yang
terbatas. Keterampilan sosialisasi saya mah segini-ginya aja, udah ga bisa
dibuat-buat biar deket ama orang, apalagi yang jauh lebih tua.
Singkat cerita, saya pun melanjutkan
pendidikan di jenjang S2 pada institusi yang sama. Saya sudah tidak berharap
akan adanya panggilan menjadi asisten. Tujuan saya pada saat itu adalah cepat
lulus S2 agar bisa mendaftar seleksi PNS dosen dan diterima menjadi dosen di
sebuah universitas dimana pun, caranya ya saya harus menuntut ilmu dengan
sungguh-sungguh, syukur-syukur apabila bisa dapat beasiswa saat S2 ini. Alhamdulillah,
saya mendapatkan suatu kejutan yang tidak terduga. Karena pada saat saya baru
masuk perkuliahan S2 kebetulan dosen-dosen sebuah mata kuliah umum di
universitas saya sedang membutuhkan beberapa orang asisten, saya dan beberapa
teman mendapat tawaran untuk menjadi
asisten dosen. Itu juga berkat rekomendasi dari salah seorang sahabat saya, Teh
Desi Sukmawati, yang sudah lebih dulu menjadi asisten. Sebuah cita-cita
terpendam yang akhirnya terwujud pula. Saya pernah memiliki impian suatu saat
nanti saya akan mengabdikan diri di perguruan yang sejuk ini, belajar maupun
berbagi ilmu yang telah saya peroleh. Dan Alhamdulillah impian itu dapat saya
rasakan sekarang. Hari-hari saya habiskan di kampus tercinta ini. Di kampus ini
pula saya tetap bisa menikmati sejuknya dataran tinggi Bandung Utara,
bersilaturahmi dengan teman-teman, berdiskusi dengan mahasiswa, dan lain-lain.
Dan apabila ada yang bertanya bagaimana
rasanya menjadi asisten dosen, jawabannya ya…sangat sangat menyenangkan
sekaliii…. Sehari sebelum saya memulai kelas pertama, saya sudah minta
bimbingan kepada Teh Desi yang lebih senior mengenai teknis perkuliahan di kelas.
Beliau pun mengajari saya si bocah sableng, dengan sabar hehehe. Dengan hanya
bermodal semangat yang tinggi dan muka anak kecil polos, saya pun memulai kelas
pertama saya. Jantung saya tidak berhenti berdebar selama saya melangkahkan
kaki menuju sebuah fakultas yang menjadi saksi perjuangan saya selama satu
semester (oalaaahhh hahaha). Dan, tibalah saya di sebuah kelas dengan nomor
ruangan yang sesuai dengan jadwal yang saya bawa. Sekilas saya melihat ke dalam
kelas tersebut, deg! banyak sekali mahasiswanya. Sekali lagi saya mencocokkan
nomor ruangan dan jadwal dengan seksama, tidak salah lagi, this is my first class! Keringat saya mengucur semakin deras. Saya
pun memberanikan diri untuk melongok sedikit dan berusaha bertanya kepada salah
seorang mahasiswa yang duduk paling dekat dengan pintu. Pertanyaannya
kira-kira: “Ini mata kuliah *tuuut* ya? Dengan dosen pengampu Pak *tuuut* ya?”
Dan mahasiswa tersebut pun mengangguk. Saya pun hanya bisa ber-“ooo” ria sambil
beberapa kali mengangguk. Mungkin mahasiswa itu berkata dalam hatinya: “Ni
orang mahasiswa baru apa emang nyasar?” Saya melirik arloji, belum pukul 7
teng. Maka saya pun putuskan untuk mencari space untuk bisa menarik napas dan
menenangkan diri sejenak. Dan tepat pukul 7 saya pun memulai lembar hidup baru,
jreng jreng…. Hahaha. Kisah saya dalam kelas tidak perlu saya ceritakan secara
detail karena tentunya itu sangat memalukan! Of course, I’m so nervous! Pertama saya masuk pasti orang
bertanya-tanya, sapa tu anak? Tapi ketika saya menuju ke meja dosen, menaruh
tas disana, dan memasangkan laptop saya pada kabel LCD, barulah para mahasiswa
berdesas-desus oh asdos toh… Yaa begitulah, mungkin kelas pertama pada
menit-menit pertama sangat menyebalkan, berbicara dengan kaku, tidak nyaman,
dan sebagainya. Tapi ketika kita sudah bisa beradaptasi dengan keadaan,
semuanya terasa menyenangkan! Saya bisa berbicara apapun dengan lancar,
spontan, dan mengalir apa adanya. Dan ya…akhirnya saya bisa mengatakan saya
puas dengan pertemuan pertama saya, hingga menuju kelas-kelas selanjutnya pun
saya tidak sabar untuk menunggu. Saya memang diamanahi untuk menjadi asisten di
tiga kelas dengan fakultas yang sama. Jujur, saya merasa agak waswas dengan
tiga kelas tersebut.Masalahnya, ketiga kelas tersebut merupakan jurusan pendidikan
bahasa! Oke oke, saya buka kartu. Kelas pertama tadi adalah pendidikan bahasa
nasional negara kita, paham laahh…. Asumsi saya, mereka itu pasti kritis
masalah penggunaan bahasa yang baik dan benar. Sementara saya jarang terlatih
menggunakan bahasa yang baik dan benar, seringnya pakai bahasa gaul campuran,
ga jelas bahasa apa. Oleh karena itu, saya agak kaku dan gagu di menit-menit
awal kelas tadi karena tekanan harus menggunakan bahasa yang baku tea, tapi
setelah dipikir-pikir toh mereka itu baru tingkat pertama, baru masuk kuliah,
dan baru lulus SMA, jadi gausah yang baku-baku teuing juga gapapa keleess….
Oke, kelas kedua adalah kelas bahasa daerah asal saya, ya udah bisa nebak lah
ya jurusan apa…. Emang sih kelas ini adalah kelas yang saya bayangkan paling
mudah saya hadapi dibanding dua kelas yang lain karena biasanya anak-anak
jurusan ini terkenal ramah dan humoris, memang orang-orang daerah kami
terkenalnya begitu. Tapi saya terbebani juga, masalahnya saya belum lancar
menggunakan bahasa daerah saya sendiri, hihihi. Dalam bahasa daerah kami, ada
beberapa jenis penggunaan bahasa yang dibedakan berdasarkan kepada siapa kita
berbicara dan dimana kita menggunakan pembicaraan tersebut. Dan saya akui itu
sulit untuk saya. Masalahnya, saya sedari kecil diajari bahasa nasional di
rumah. Saya baru mengenal bahasa daerah di bangku sekolah dan itupun bahasa
pergaulan yang agak kasar, jadi saya suka takut menggunakan bahasa lemes daerah
saya yang biasanya digunakan dalam acara formal dan kepada orang yang kita hormati.
So, saya jelaskan saja kepada mahasiswa saya jurusan tersebut di awal
perkuliahan bahwa saya memang kurang lancar menggunakan bahasa daerah, aduh
malu-maluin yah, hehehe. Saya akui itu salah satu kekurangan saya sebagai
pendidik karena seharusnya pendidik itu memberikan contoh yang baik bagi
peserta didik, saya malah kebalikannya. Lanjut ke kelas yang ketiga. Naah ini
nih kelas yang bikin saya gabisa tidur karena kepikiran terus. Saya kan baru
banget jadi asdos, kok udah dikasih kelas kaya gini, ckckck. Emang kelas kaya
gimana sih yang saya maksud? Well,
kelas sebuah jurusan dimana mahasiswanya tuh pas denger nama jurusannya aja
kita udah ngebayangin mereka tuh kuat-kuat agamanya tapi masih di fakultas
bahasa, yaa paham kali yaa…. Ini problematik banget buat saya. Masalahnya, mata
kuliah yang saya asisteni ini adalah ilmu sosial aplikatif yang rentan
dikritisi, apalagi kalau sudah dihubungkan dengan agama. Terus mereka juga
biasanya lulusan sekolah-sekolah bagus yang rata-rata alumninya pada jago berkomunikasi
dan mengemukakan pendapat. Kebayang banget lah mereka bakal kritis kaya apa,
sementara saya cuma anak kecil culang-cileung yang kebetulan aja terpanggil
jadi asdos.
Pada kenyataannya, perkiraan saya tidak
jauh beda, kelas pertama memang banyak yang pintar dan humoris, kelas kedua
sopan dan ramah, dan kelas ketiga kritis dan cerdas. Hanya saja yang berbeda
adalah, mereka jauh jauh jauh jauuuuhhh lebih menyenangkan daripada yang saya
duga :)