KONDISI
ANGKA PARTISIPASI MURNI (APM) PENDIDIKAN MENENGAH
DI
JAWA BARAT
Hana Riana Permatasari dan Suciati Nurhartati
Calon Peneliti Bappeda Provinsi Jawa Barat dan Guru SPP SMK Pu Bandung
ABSTRAK
Kajian
ini bertujuan untuk mengetahui penyebab APM tidak tercapai dan kondisi APM di
perkotaan dan kabupaten. Kajian dilaksanakan dengan metoda deskriptif dengan
menggunakan data skunder dan studyi literatur. Hasil kajian menunjukkan: (1) Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan
Menengah di Provinsi Jawa Barat belum memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan Menengah sehingga diperlukan upaya berupa Program/Kegiatan yang
dapat menunjang peningkatan APM Pendidikan Menengah, baik dari segi sumber daya
manusia, infrastruktur, dan lain-lain; (2) APM Pendidikan
Menengah di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan sehingga Pemerintah harus
optimis bahwa APM Pendidikan Menengah di Jawa Barat dapat meningkat ditunjang
dengan Program/Kegiatan yang memadai; (3) Rendahnya
pencapaian APM di Jawa Barat dapat dikaitkan dengan faktor-faktor: (a) kemiskinan penduduk; (b)
kapasitas fiskal Pemda; (c) faktor geografi
(jarak ke sekolah yang jauh); (d) ketersediaan
layanan pendidikan (rasio jumlah anak usia 16-18 tahun per ruang kelas SMA/SMK;
dan (e) tingkat pendidikan penduduk; (3) Kondisi APM Pendidikan Menengah di wilayah Kota lebih baik
dibandingkan kondisi APM di wilayah Kabupaten, sehingga Pemerintah Provinsi
perlu lebih memfokuskan Program/Kegiatan yang menunjang pada peningkatan APM
Pendidikan Menengah di wilayah Kabupaten.. Untuk meningkatkan APM sekolah menengah di Jawa Barat
diperlukan: (1) Upaya
pemecahan masalah rendahnya APM sekolah menengah
di Jawa Barat;
(2) Pembebasan segala jenis pungutan di sekolah terutama
bagi anak dari keluarga miskin; (3) Pemerintah perlu
menyediakan subsidi untuk segala keperluan sekolah terutama bagi sekolah yang
siswanya banyak berasal dari keluarga miskin, seperti beasiswa miskin, dan
beasiswa; (4) Peningkatan pengelolaan BOS dan kartu pintar; (5) Meningkatkan akses anak ke Sekolah
menengah; dan (6) Sosialisasi pentingnya sekolah kepada masyarakat.
Kata Kunci: Angka
Partisipasi Murni, Pendidikan Menengah, Standar Pelayanan Minimal
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan
manusia, sehingga dengan adanya pendidikan diharapkan kualitas sumber daya
manusia semakin meningkat (Todaro, 2011). Peningkatan
kualitas sumber daya manusia akan berpengaruh terhadap terhadap
pertumbuhan ekonomi (Kemendikbud, 2016; Bol, 2015), yang pada akhirnya daya
saing masyarakaat Jawa Barat khususnya, umumnya bangsa Indonesia. Menyadari
pentingnya peningkatan sumberdaya manusia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah
menetapkan Misi Pertama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
periode Tahun 2013-2018 yaitu “Membangun
masyarakat yang berkualitas dan berdaya saing”, dengan sasaran meningkatnya
aksesibilitas dan kualitas pendidikan yang unggul, terjangkau, dan merata
(Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2013).
Berdasarkan kewenangan pengelolaan pendidikan yang mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan pendidikan menengah (SMA/SMK) dan pendidikan khusus (SLB) berada pada Pemerintah Daerah Provinsi.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang
tersebut, maka alih kelola SMA/SMK telah dimulai sejak Tahun 2016, dengan
demikian apabila dilihat partisipasi usia sekolah bagi masyarakat Jawa Barat
sepenuhnya berada pada tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Angka
Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai proporsi penduduk pada kelompok
umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada
kelompok umur tersebut. APM menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah
yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai pada jenjang
pendidikannya. Jika APM = 100, berarti seluruh anak usia sekolah dapat
bersekolah tepat waktu (BPS, 2017).
APM sekolah menengah di Jawa
Barat adalah baru tercapai sebesar 52,18 persen pada tahun ajaran 2015-2016, artinya baru 50 peren lebih penduduk Jawa Barat yang
telah memanfaatkan fasilitas pendidikan sekolah menengah dari selurh penduduk
Jawa Barat pada usia 16-18 tahun, dari target minimal sebesar 60 persen
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan
Menengah. Permasalahannya adalah standar pelayanan minimal bagi APM sekolah
menengah di Jawa Barat tidak tercapai, dan bagaimana kondisi
APM di wilayah perkotaan dan kabupaten. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui penyebab APM tidak tercapai dan kondisi APM di perkotaan dan
kabupaten. Kajian dilaksanakan dengan metoda deskriptif dengan menggunakan data sekunder dan studi literatur. Hasil kajian ini diharapan data dijadikan
referensi bagi perencanaan pendidikan ke depan.
KESESUAIAN CAPAIAN APM DENGAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PENDIDIKAN
MENENGAH
Untuk APM idealnya adalah 100
persen berarti semua siswa bersekolah sesuai usia dan jenjang pendidikan. Makin
tinggi APM berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah sesuai dengan
usia resmi di suatu daerah dan di tingkat pendidikan tertentu. Bila nilai APM
lebih besar dari 100% karena adanya siswa usia sekolah dari luar daerah
bersekolah di daerah tertentu karena lokasi sekolah di daerah kota atau daerah
perbatasan.
Berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Pendidikan Pasal 4 Ayat (1), salah satu Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan Menengah yaitu 60 persen anak dalam kelompok usia 16 sampai dengan
18 tahun bersekolah di SMA/MA dan SMK. Capaian Angka Partisipasi
Murni (APM) Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan atau rata-rata Provinsi
serta data APM seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Ajaran 2013/2014 sebesar 44,71
persen, Tahun 2014/2015 45,89 persen, dan Tahun 2015/2016 sebesar 52,18 persen dari target berdasar SPM sekolah
menengah 60 persen.
Berdasarkan
data tersebut di atas,
APM sekolah menengah di Jawa Barat telah
terjadi peningkatan setiap tahunnya. Tren kenaikan APM sekolah menengah setiap
tahun ajaran selalu meningkat dengan signifikan, sehingga pada tahun ajaran
2018/2019 Jawa Barat akan mencapai target SPM bagi sekolah menengah.
Faktor-faktor yang terkait
dengan rendahnya pencapaian APM dalam pengkajian ini dianalisis dengan
menggunakan data sekunder dan hasil stdi literatur. Mengacu kepada hasil penelitian Nur Berlian VA (2011). Rendahnya
pencapaian APM di Jawa Barat dapat dikaitkan dengan faktor-faktor: (1)
kemiskinan penduduk; (2) kapasitas fiskal Pemda; (3) faktor geografi (jarak ke
sekolah yang jauh); (4) ketersediaan layanan pendidikan (rasio jumlah anak usia
16-18 tahun per ruang kelas SMA/SMK; dan (5) tingkat pendidikan penduduk.
Beberapa
penelitian yang terkait antara lain hasil penelitian Yamin dan Suyidno (2014)
yang menyatakan bahwa daya tarik siswa bersekolah rendah, pemahaman guru
terhadap angka partisipasi dalam pendidikan rendah, siswa yang berasal dari
luar daerah dan usia kurang/lebih dari usia sekolah yang cukup banyak sehingga
ini kemudian berdampak bagi rendahnya partisipasi dalam pendidikan, siswa tidak
naik kelas dan drop out juga besar
sehingga ikut memberikan sumbangan besar bagi rendahnya APK/APM, dan banyak
siswa yang tidak melanjutkan sekolah akibat rendahnya pemahaman tentang
pentingnya pendidikan sebagai bekal masa depan.
PERBANDINGAN ANGKA PARTISIPASI MURNI (APM) ANTARA
KABUPATEN DAN KOTA
Gambaran
kondisi Angka Partisipasi Murni (APM) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
dari Tahun Ajaran 2013/2014 sampai dengan Tahun Ajaran 2015/2016 dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel
1
Angka
Partisipasi Murni (APM) Sekolah Menengah Kabupaten/Kota
di
Provinsi Jawa Barat Tahun Ajaran 2013/2014 s.d. 2015/2016
Kabupaten/Kota
|
2013/2014
|
2014/2015
|
|
2015/2016
|
Kab. Bogor
|
33,8
|
34,88
|
|
45,11
|
Kab. Sukabumi
|
31,35
|
33,38
|
|
40,73
|
Kab. Cianjur
|
31,83
|
35,63
|
|
39,11
|
Kab. Bandung
|
37,94
|
39,76
|
|
46,16
|
Kab. Sumedang
|
50,52
|
50,87
|
|
54,64
|
Kab. Garut
|
42,71
|
44,23
|
|
50,03
|
Kab. Tasikmalaya
|
35,81
|
34,17
|
|
41,77
|
Kab. Ciamis
|
38,64
|
39,1
|
|
47,98
|
Kab. Kuningan
|
58,39
|
58,38
|
|
60,58
|
Kab. Majalengka
|
43,2
|
44,31
|
|
43,2
|
Kab. Cirebon
|
37,78
|
38,85
|
|
45,14
|
Kab. Indramayu
|
45,23
|
47,9
|
|
54,28
|
Kab. Subang
|
45,53
|
47,8
|
|
59,57
|
Kab. Purwakarta
|
40,21
|
36,44
|
|
44,11
|
Kab. Karawang
|
47,07
|
47
|
|
52,23
|
Kab. Bekasi
|
53,04
|
50,58
|
|
54,8
|
Kab. Bandung Barat
|
36,39
|
37,97
|
|
41,99
|
Kab. Pangandaran
|
35,09
|
34,68
|
|
37,87
|
Kota Bandung
|
65,11
|
67,98
|
|
74,63
|
Kota Bogor
|
71,93
|
73,06
|
|
83,55
|
Kota Sukabumi
|
80,1
|
77,82
|
|
80,14
|
Kota Cirebon
|
73,95
|
72,55
|
|
74,3
|
Kota Bekasi
|
56,57
|
62,52
|
|
65,12
|
Kota Depok
|
52,81
|
53,99
|
|
65,71
|
Kota Cimahi
|
66,23
|
68,35
|
|
68,43
|
Kota Tasikmalaya
|
70,19
|
70,97
|
|
70,23
|
Kota Banjar
|
65,89
|
65,12
|
|
71,26
|
JAWA BARAT
|
44,71
|
45,89
|
|
52,18
|
Sumber: Kemendikbud
|
|
Berdasarkan
data tersebut, dapat dilihat bahwa hampir seluruh Kabupaten di Provinsi Jawa
Barat belum memenuhi SPM pendidikan menengah selama tiga tahun ajaran terakhir,
kecuali Kabupaten Kuningan yang dapat mencapai angka 60,58 persen pada Tahun
Ajaran 2015/2016. Sedangkan hampir seluruh Kota di Provinsi Jawa Barat telah
mencapai SPM pendidikan menengah selama tiga tahun ajaran terakhir, yaitu Kota
Bandung, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kota
Tasikmalaya, dan Kota Banjar, kecuali Kota Bekasi yang baru mencapai SPM pada
Tahun Ajaran 2014/2015 dan 2015/2016 serta Kota Depok yang baru mencapai SPM
pada Tahun Ajaran 2015/2016. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terjadi
ketimpangan kualitas pendidikan menengah di wilayah kabupaten dan wilayah kota.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan menengah di wilayah
perkotaan lebih baik dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Griffiths (1982) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa
masalah pendidikan di pedesaan, seperti infrastruktur, sarana dan prasarana
pendidikan, faktor psikologis anak seperti rasa malas untuk bersekolah, serta
faktor ekonomi keluarga.
Apabila
dilihat setiap tahun ajaran, pada Tahun Ajaran 2013/2014, Kabupaten/Kota yang
memiliki APM pendidikan menengah terendah yaitu Kabupaten Sukabumi sedangkan
Kabupaten/Kota yang memiliki APM pendidikan menengah tertinggi yaitu Kota
Sukabumi. Pada Tahun Ajaran 2014/2015, posisi APM pendidikan menengah tidak
berbeda dengan tahun sebelumnya, yaitu terendah di Kabupaten Sukabumi dan
tertinggi di Kota Sukabumi. Berdasarkan peringkat terendah dan tertinggi dua
tahun ajaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun dua wilayah terletak
pada posisi yang dekat, yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kota Sukabumi, nilai APM
dapat berbeda signifikan. Sementara pada Tahun Ajaran 2015/2016, Kabupaten/Kota
yang memiliki APM pendidikan menengah terendah yaitu Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten/Kota yang memiliki APM pendidikan menengah tertinggi yaitu Kota
Bogor.
Apabila
dilihat dari peningkatan, sebagian besar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
mengalami peningkatan APM pendidikan menengah selama tiga tahun ajaran
terakhir. Kabupaten/Kota yang mengalami peningkatan APM pendidikan menengah
secara signifikan yaitu Kota Bogor yang mengalami peningkatan sekitar 10 poin
lebih, yaitu dari 73,06 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015 menjadi 83,55 pada
Tahun Ajaran 2015/2016. Sedangkan beberapa Kabupaten/Kota yang mengalami
penurunan APM pendidikan menengah antara lain: Kabupaten Kuningan dari 58,39
persen pada Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi 58,38 persen pada Tahun Ajaran
2014/2015; Kabupaten Majalengka dari 44,31 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015 menjadi
43,20 persen pada Tahun Ajaran 2015/2016; Kabupaten Purwakarta dari 40,21
persen pada Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi
36,44 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015; Kabupaten Karawang dari 47,07 persen
pada Tahun 2013/2014 menjadi 47,00 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015;
Kabupaten Bekasi dari 53,04 persen pada Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi 50,58
persen pada Tahun Ajaran 2014/2015; Kabupaten Pangandaran dari 35,09 persen
pada Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi 34,68 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015;
Kota Sukabumi dari 80,10 persen pada Tahun Ajaran 2013/2014 menjadi 77,82
persen pada Tahun Ajaran 2014/2015; Kota Cirebon dari 73,95 persen pada Tahun
Ajaran 2013/2014 menjadi 72,55 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015; Kota
Tasikmalaya dari 70,97 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015 menjadi 70,23 persen
pada Tahun Ajaran 2015/2016; serta Kota Banjar dari 65,89 persen pada Tahun
Ajaran 2013/2014 menjadi 65,12 persen pada Tahun Ajaran 2014/2015. Berdasarkan
data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penurunan APM pendidikan menengah
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
sebagian besar terjadi dari Tahun Ajaran 2013/2014 ke Tahun Ajaran
2014/2015 dengan selisih paling besar yaitu berada di Kabupaten Purwakarta
sebesar 3,77 poin.
KESIMPULAN
1.
Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan
Menengah di Provinsi Jawa Barat belum memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pendidikan Menengah. Sehingga diperlukan upaya berupa Program/Kegiatan yang
dapat menunjang peningkatan APM Pendidikan Menengah, baik dari segi sumber daya
manusia, infrastruktur, dan lain-lain;
2.
APM Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa
Barat mengalami peningkatan sehingga Pemerintah harus optimis bahwa APM
Pendidikan Menengah di Jawa Barat dapat meningkat ditunjang dengan
Program/Kegiatan yang memadai;
3.
Rendahnya pencapaian APM di Jawa Barat
dapat dikaitkan dengan faktor-faktor: (1) kemiskinan penduduk; (2) kapasitas
fiskal Pemda; (3) faktor geografi (jarak ke sekolah yang jauh); (4)
ketersediaan layanan pendidikan (rasio jumlah anak usia 16-18 tahun per ruang
kelas SMA/SMK; dan (5) tingkat pendidikan penduduk
4.
Kondisi APM Pendidikan Menengah di wilayah
Kota lebih baik dibandingkan kondisi APM di wilayah Kabupaten, sehingga
Pemerintah Provinsi perlu lebih memfokuskan Program/Kegiatan yang menunjang
pada peningkatan APM Pendidikan Menengah di wilayah Kabupaten.
SARAN
1. Upaya
pemecahan masalah rendahnya APM
sekolah menengah di Jawa Barat;
2. Pembebasan
segala jenis pungutan di sekolah terutama bagi anak dari keluarga miskin;
3. Pemerintah perlu menyediakan subsidi
untuk segala keperluan sekolah terutama bagi sekolah yang siswanya banyak
berasal dari keluarga miskin, seperti beasiswa miskin, dan beasiswa;
4. Peningkatan pengelolaan BOS dan kartu pintar;
5. Meningkatkan akses anak ke sekolah menengah;
6. Sosialisasi pentingnya sekolah kepada masyarakat.
Daftar
Pustaka:
___________________________________ (2015). APK/APM Tahun 2014/2015. Jakarta: Pusat Data dan Statistik
Pendidikan.
___________________________________ (2016). APK/APM Tahun 2015/2016. Jakarta: Pusat Data dan Statistik
Pendidikan.
_____________________________________(2013).
Indikator Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan.
_____________________________________(2016).
Modul Diklat Perencanaan. Jakarta:
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai.
Bol,
T. (2015). Has Education Become More Positional? Education Expansion and Labour
Market Outcomes, 1985-2007. Acta
Sociologica. Vol. 58 (2), p. 105-120.
Griffiths.
(1982). Masalah Pendidikan di Pedesaan.
Jakarta: UNESCO.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). APK/APM
Tahun 2013/2014. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan.
Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Pendidikan.
Lestari,
N.A. (2014). Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah serta Angka Putus Sekolah Tingkat
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama: Data Panel 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2006 hingga 2011. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Nur Berlian, VA. (2011). Faktor-faktor yang Terkait dengan
Rendahnya Pencapaian Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.
17, Nomor 1, Januari 2011
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018.
Robandi,
B dkk. (2014). Landasan Pendidikan.
Bandung: Jurusan Pedagogik FIP UPI.
Todaro,
M.P. & Smith, S.C. (2011). Pembangunan
Ekonomi Edisi Kesebelas Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Yamin,
M. & Suyidno. (2014). Kajian tentang
Faktor Penyebab Rendahnya Ketercapaian APM dan APK Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah di Kabupaten Banjar. Banjarmasin: Balitbangda Kalsel.
Keterangan: Artikel ini telah dimuat di Warta Bappeda Vol. XX Edisi 2 Tahun 2017